Lembar

Jumat, 16 April 2010

SEJARAH KEBUDAYAAN DAN ADAT SUKU TOLAKI


Penulis : Suharta TolaQ""

"KUMPULAN DARI BEBERAPA LITERATUR ANAKIA MEOHAI"
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah…
Wassalatu Wassalam Alaa Rasulillah, Wa ala Allihi Wassabihi Aj’main Amma Ba’du…
Audzubillahhiminazzaitanirajim…Bismillahhirrahmanirrahim……..
Sannurihim Ayyatina Fil afaqi Wafi Ampusihim..Hatta Yatayabannalahum Annaul Haq….
Affalan Yafti Birabbika…Annahu Alla Kulli Say’in Sahid….
Bismillah Hirrahmanirrahim….
Rabbi syrahli Sadri Waya Sirrli Amri Wahlul Uhdatan Minlisahni Yaf Kaukaulli…..

Puji syukur kita panjatkan atas kekuasaan Allah Subhanawata’ala sang penguasa alam semesta yang maha pengetahui dan maha bijak bagi seluruh mahluknya serta memberi kesehatan kepada penulis sehingga tulisan ini dapat tersusun sebagaimana kiranya, Tak lupa pula kita junjung tinggi rasulullah SallaulahWalaiwasalam dimana sahabat dan keluarganya telah memperjuangkan agama yang dimuliakan Allah Subhanawata’ala untuk kita…Amin!!!

Dan juga penulis ucapkan terimakasih atas acuan literatur yang dibuat dari saudara-saudara penulis yang tak sempat penulis sebut namanya satu persatu di dalam media internet yang merupakan acauan dari latar belakang dan pustaka sehingga dapat membantu penulis dalam menyusun buku tentang sejarah kebudayaan dan adat tolaki. Dalam hal ini kita ketahui bersama bahwa perkembangan inovasi kebudayaan suku tolaki dalam era pengetahuan dan teknologi semakin hari semakin berkurang, sehingga penulis termotivasi untuk menyusun walaupun masih ada kekurangannya. Harapan penulis dengan terbitnya buku ini insya Allah dapat memanfaatkan dan menanamkan seni-seni kebudayaan bagi generasi khususnya generasi suku tolaki itu sendiri sehingga dapat mempertahankan kebudayaan dan kekayaan adat-istiadat suku tolaki.

Demikianlah yang dapat penulis sampaikan, apabila didalam penulisan terdapat kesamaan dan kekurangan dalam penulisan mohon dimaafkan. Sebab penulis juga hanya manusia biasa yang tak luput dari kekurangan dan kesalahan karena itu, kesempurnaan hanya milik Allah Subhanawata’ala…
Wassalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Makassar, 03 November 2009



Suharta Amijaya Husen, S.Kel. M.Si


PENDAHULUAN

ADAT ISTIADAT SULAWESI TENGGARA

Penduduk Sulawesi Tenggara umumnya beragama Islam. Namun demikian dalam kehidupan sehari-hari masih terlihat sisa-sisa dari kepercayaan mereka yang terdahulu yang taat hubungannya dengan animisme dan dinamisme. Karena itu di kalangan masyarakat terdapat berbagai upacara keagamaan yang dilaksanakan. Misalnya upacara Monahu khau yakni upacara setelah potong padi. Di kalangan suku Tolaki yang beragama Kristen upacara ini mewujudkan dalam bentuk kebaktian pengucapan Syukur tahunan yang dilaksanakan di gereja. Sedangkan di daerah-daerah tertentu upacara manahu udhan, dilakukan sangat meriah terutama di desa Benua kecamatan Lambuya. Upacara ini dilaksanakan di lapangan terbuka, selama tiga malam berturut dan dipimpin seorang dukun yang disebut mbusehe. Saat dilaksanakan biasanya pada bulan September, semalam sebelum sampai dengan sesudah bulan purnama.
Sebagai alat penerangannya adalah sinar bulan tersebut dan tidak boleh menggunakan lampu. Kemudian para peserta yang biasanya terdiri dari rakyat petani pada umumnya, menari bergandengan tangan mengelilingi nilavaka yakni bangunan darurat tempat menaruh gendang dan alat musik lainnya. Malam ketiga atau penutupan, pagi-pagi hari diadakan upacara korban atau musehe yang dilakukan oleh dukun.
Selain upacara yang berhubungan dengan pertanian, maka dalam kehidupan individu atau siklus kehidupan juga dilakukan berbagai upacara mulai dari saat seorang wanita hamil, melahirkan, kemudian dewasa, melaksanakan perkawinan kemudian kematian. Upacara yang berhubungan dengan lingkaran kehidupan ini antara lain Meosambaki yaitu selamatan bagi anak pertama yang berusia 7 hari, Mekui atau Mosere Curu yakni pemotongan rambut pada waktu bayi berumur 7 tahun, biasanya satu sampai empat malam anak ini dikurung, dan pada upacara ini anak tersebut disunat atau Manggilo. Kemudian upacara Mee Eni bila anak berusia 15 tahun hingga masa peralihan dari kanak-kanak hingga dewasa.
Dalam upacara ini diadakan perataan gigi dengan benda keras, biasanya batu atau kikir. Dalam upacara perkawinan yang lazim, selalu didahului dengan peminangan. Namun ada juga yang melakukan kawin lari, tanpa peminangan kepada pihak sang gadis. Karenanya cara perkawinan di daerah Sulawesi Tenggara dibedakan kedalam 4 macam, yaitu Mesasapu, bentuk perkawinan dengan peminangan, perkawinan lari bersama disebut Ropolasu atau humbuni, bila kawin lari dengan paksa oleh pihak laki-laki disebut pinola suako atau popalaisaka. Dalam perkawinan bawa lari atau lari bersama ini pihak laki-laki dikenakan sangsi berupa pembayaran yang tinggi kepada orang tua si gadis. Bentuk perkawinan keempat adalah moruntandole atau uncura yakni bila lamaran ditolak atau si gadis sudah dipertunangkan dengan pamuda lain, maka pihak orang tua laki-laki mendesak untuk melaksanakan perkawinan antara anaknya dengan sigadis saat itu juga.
Dalam mengurus mayat suku-suku bangsa di Sulawesi Tenggara bila seorang raja cara-cara bangsawan meninggal, sebagai pertanda dipukul gong secara berkepanjangan disebut batubangewea. Di saat nafas terakhir disembelihkan seekor kerbau yang disebut katu mbenao. Kemudian kepada semua kerabat diberi tahu dengan mendatanginya, oleh orang yang diberi tugas dengan membawa perangkat adat berupa lingkaran rotan dililit tiga dan diikat secarik kain putih. Dengan cara ini, yang didatangi sudah mengerti bahwa itu merupakan berita kematian. Setelah mayat disimpan semalam lalu dimasukkan ke dalam tempat semacam peti mati yang disebut soronga, dibuat dari sebatang pohon. Setelah itu mayat dalam soronga di bawa ke gua batu atau disimpan dalam rumah-rumah yang khusus dibuatkan untuk itu, biasanya di tengah hutan.

Pengertian kebudayaan Secara Umum

Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Kebudayaan dalam bahasa Inggris disebut culture. Kata tersebut sebenarnya berasal dari bahasa Latin = colere yang berarti pemeliharaan, pengolahan tanah menjadi tanah pertanian. Selanjutnya kata itu diberi arti “pembentukan dan pemurnian jiwa”. Manusia memiliki unsur-unsur potensi budaya yaitu pikiran (cipta), rasa, dan kehendak (karsa). Hasil ketiga potensi budaya itulah yang disebut kebudayaan. Dengan kata lain kebudayaan adalah hasil cipta, rasa dan karsa manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan cipta manusia mengembangkan kemampuan alam pikir yang menimbulkan ilmu pengetahuan. Dengan rasa manusia menggunakan panca inderanya yang menimbulkan karya-karya seni atau kesenian. Dengan karsa manusia menghendaki kesempurnaan hidup, kemuliaan dan kebahagiaan sehingga berkembanglah kehidupan beragama dan kesusilaan.
Budaya adalah suatu pola dari keseluruhan keyakinan dan harapan yang dipegang teguh secara bersama oleh semua anggota organisasi dalam pelaksanaan pekerjaan yang ada dalam organisasi tersebut. Dengan demikian, budaya dalam suatu organisasi adalah menjadi pengikat semua karyawan secara bersama dalam organisasi tersebut dan sekaligus sebagai pemberi arti dan maksud dalam keterlibatan karyawan tersebut dalam pekerjaan sehari-hari dari organisasi.
Budaya adalah suatu pola dari asumsi-asumsi dasar (keyakinan dan harapan) yang ditemukan ataupun dikembangkan oleh suatu kelompok tertentu dari organisasi, dan kemudian menjadi acuan dalam mengatasi persoalan-persoalan yang berkaitan dengan adaptasi keluar dan integrasi internal, dan karena dalam kurun waktu tertentu telah berjalan/berfungsi dengan baik, maka dipandang sah, karenanya dibakukan bahwa setiap anggota organisasi harus menerimanya sebagai cara yang tepat dalam pendekatan pelaksanaan pekerjaan-pekerjaan dalam organisasi oleh Shein (1985-1990).
Budaya dalam arti yang luas adalah suatu keadaan akibat perilaku manusia yang secara perorangan atau kelompok, bermasyarakat dan bernegara yang dapat mempengaruhi kehidupan yang damai dan tenteram, sejahtera dalam arti bahwa semua dapat hidup sehat diatas garis kemiskinan, tidak membedakan suku, etnik, ras dan jenis kelamin, tidak mencemari dan merusak lingkungan, tidak meracuni sumberdaya alam terbaharukan dan tidak terbaharukan, yang secara demokratis menjunjung tinggi hak dan kewajiban asasi manusia, memberi kebebasan untuk beragama, kebebasan mengeluarkan pendapat dan kebebasan dapat menikmati pendidikan sesuai bakat dan keinginannya oleh Bacharuddin Jusuf Habibie.
Pengertian kebudayaan yang dikemukakan oleh E.B. Taylor maupun dalil-dalil yang di kemukakan oleh Herkovits masih bersifat luas sehingga pengkajian kebudayaan sangat bervariasi. Menurut Krober dan Klukhon (1950) kebudayaan, definisinya adalah kebudayaan terdiri atas berbagai pola, bertingkah laku mantap, pikiran, perasaan dan reaksi yang diperoleh dan terutama diturunkan oleh simbol-simbol yang menyusun pencapaiannya secara tersendiri dari kelompok-kelompok manusia, termasuk di dalamnya perwujudan benda-benda materi; pusat esensi kebudayaan terdiri atas tradisi cita-cita atau paham, dan terutama keterikatan terhadap nilai-nilai.

Sejarah Suku Tolaki
(To’olaki, Lolaki, Lalaki, Laki, Kolaka, “Noie”, “Noihe”, “Nehina”, “Nohina”, “Nahina”, “Akido”) 281,000, termasuk 230,000 Konawe, 50,000 Mekongga, 650 Asera, lebih sedikit dari 100 Wiwirano, 200 Laiwui (1991 D. Mead SIL). Asal kata TOLAKI, TO=orang atau manusia, LAKI= Jenis kelamin laki-laki,..manusia yang memiliki kejantanan yang tinggi, berani dan menjunjung tinggi kehormatan diri/harga diri. Suku Tolaki, salah satu suku terbesar yang ada di Propinsi Sulawesi Tenggara di samping Suku Buton dan Suku Muna, tersebar di Kab. Kendari dan Kab. Kolaka; yang berada di Kab. Kolaka mendiami daerah Mowewe, Rate-rate dan Lambuya sedangkan yang berada di Kab. Kendari mendiami daerah Asera, Lasolo, Wawotobi, Abuki dan Tinanggea. Orang Tolaki pada mulanya menamakan dirinya Tolohianga (orang dari langit). Menurut Tarimana (1993), mungkin yang dimaksud “langit” adalah “kerajaan langit” sebagaimana dikenal dalam budaya Cina (Granat, dalam Needhan 1973 yang dikutip Tarimana). Dalam dugaannya, ada keterkaitan antara kata “hiu” yang dalam bahasa Cina berarti “langit” dengan kata “heo” (Tolaki) yang berarti “ikut pergi ke langit”.
Sulawesi Tenggara, Kendari dan Kolaka. Mekongga di Pegunungan Mekongga di pinggiran barat dekat Soroako. Austronesia, Malayo-Polynesia, Malayo-Polynesia Barat, Sulawesi, Sulawesi Tengah, tengah Barat, Bungku-Mori-Tolaki, Tolaki. Dialek: Wiwirano, Asera, Konawe (Kendari), Mekongga (Bingkokak), Norio, Konio, Tamboki (Tambbuoki), Laiwui (Kioki). Wiwirano memiliki 88% kemiripan bahasa dengan Asera, 84% dengan Konawe, 85% dengan Mekongga, 81% dengan Laiwui, 78% dengan Waru, 70% dengan Rahambuu dan Kodeoha, 54% dengan Mori dan Bungku. Mekongga memiliki 86% kemiripan dengan Konawe, 80% dengan Laiwui. Tes kejelasan dibutuhkan dengan dialek yang tersusun diatas, Mekongga, dan Waru.
Nama-nama negatif tidak lagi dipergunakan. Wiwirano hanya dituturkan oleh para tetua. Kamus. Tatabahasa. Tolaki merupakan salah satu kelompok etnis mayoritas di Sulawesi bagian selatan. Bahasa mereka disebut Bahasa Tolaki, dan masyarakatnya juga dikenal dengan nama itu. Mereka tidak menjadi bingung dengan Lolak di Sulawesi bagian utara.
Tolaki terdiri atas beberapa sub-kelompok, termasuk Bingkokak. Sedikit saja yang diketahui tentang gaya hidup dan budaya mereka, tetapi diduga bahwa cara hidup mereka sangat mirip dengan etnis tetangga mereka, Pancana dan Maronene.

Sulawesi merupakan sebuah pulau dengan panjang garis pantai sekitar 3.500 mil, terdiri atas empat semenanjung utama yang terpisahkan oleh teluk dalam, dengan dua semenanjung mengarah ke selatan dan dua lainnya ke utara. Di bagian selatan pulau ini terdapat salah satu gunung tertinggi, yaitu Gunung Lompobatang, sebuah gunung api pasif yang mencapai ketinggian 9.419 kaki. Meskipun beriklim tropis, daerah ini dipengaruhi oleh ketinggian dan kedekatan dengan laut.
Tolaki adalah salah satu suku yang ada di Sulawesi Tenggara.mendiami daerah yang berada di sekitar kota kendari, Kabupaten konawe, Konawe Selaten, Konawe Utara, Kolaka dan Kolaka Utara. Suku Tolaki berasal dari kerajaan Konawe. masyarakat Tolaki umumnya merupakan peladang dan petani yang handal, hidup dari hasil ladang dan persawahan yang di buat secara gotong-royong keluarga. Raja Konawe yang terkenal adalah Haluoleo (delapan hari). Masyarakat Kendari percaya bahwa garis keturunan mereka berasal dari daerah Yunani Selatan yang sudah berasimilasi dengan penduduk setempat, walaupun sampai saat ini belum ada penelitian atau penelusuran ilmiah tentang hal tersebut. Karena masyarakat tolaki hidup berladang dan bersawah, maka ketergantungan terhadap air sangat penting untuk kelangsungan pertanian mereka. untunglah mereka memiliki sungai terbesar dan terpanjang di provinsi ini. Sungai ini dinamai sungai Konawe. yang membelah daerah ini dari barat ke selatan menuju Selat Kendari.
Bagi orang Tolaki, padi-padian yang tumbuh di ladang menjadi makanan pokok, tetapi mereka juga menanam ubi jalar, tebu, aneka macam sayuran, tembakau, dan kopi. Selain itu ada pula makanan pokok yang berasal dari pohon sagu (tawaro) dan dikelola dengan cara memotong batang pohon sagu yang kemudian diiris isi dari batangnya setelah itu dilakukan Lumanda atau meratakan hasil irisan tersebut didalam tempat penampungan sehingga hasil dari proses semua itu akan menjadi sagu (tawaro)/Sinonggi (siap saji). Rumah mereka yang umumnya berbentuk rumah panggung tersebar diantara lahan-lahan yang telah dibuka. Rumah-rumah tersebut umumnya terbuat dari daun nipa yang dianyam dan memiliki atap yang tinggi.
Perbedaan kelas sosial, dengan bangsawan atas, bangsawan bawah serta masayarakat biasa, masih dipegang teguh oleh kebanyakan komunitas di Sulawesi. Tiap kelas sosial biasanya memiliki cara bersikap mereka sendiri, diantara berbagai macam budaya dan tradisi. Wilayah dibagi menjadi desa, dan hak pemanfaatan lahan diatur oleh lembaga desa. Akan tetapi, lembaga tersebut pada akhirnya memegang kepemilikan atas lahan.

Tradisi perkawinan etnis Tolaki mensyaratkan pembayaran kepada keluarga Si gadis pada saat pertunangan dan perkawinan. Nilai mahar tergantung pada tingkatan sosial dari Si pemuda. Sebelum perkawinan, pemuda tersebut harus melayani dan menjalani masa percobaan dengan calon mertuanya, dan persyaratan ini memperkuat tingkatan pertunangan yang lebih tinggi. Dahulu, para budak dan turunan mereka tidak diperbolehkan kawin satu sama lain, meskipun mereka bisa hidup bersama. Juga, perempuan bangsawan tidak boleh menikah dengan orang jelata. Poligami (memiliki istri lebih dari satu) umum terjadi antar bangsawan, tetapi sekarang tidak lagi dilakukan.
Islam merupakan agama dominan di Indonesia saat ini dan dijalankan bagi kebanyakan penduduknya. Hindu, tersebar luas di nusantara sebelum abat keempat, dan sekarang hanya tinggal dijalankan oleh sejumlah kecil penduduk, terutama di Pulau Bali. Sekitar 13% dari total penduduk Indonesia beragama Kristen, utamanya Protestan, dan banyak etnis China memeluk agama Buddhist-Taoist. Animisme (kepercayaan akan benda-benda non-manusia memiliki roh) dianut oleh suku-suku yang tinggal di daerah terpencil. Islam telah dominan sejak tahun 1600-an, dan etnis Tolaki pada prakteknya merupakan Muslim Sunni . Akan tetapi, kepercayan tradisonal masih amat penting, terutama kepercayaan akan roh jahat. Hanya sekitar 1% masyarakat Tolaki beragama Kristen

Kebudayaan Masyarakat Tolaki
Kota Kendari terdiri dari beberapa suku bangsa, salah satunya adalah suku bangsa Tolaki. Suku ini merupakan suku asli di daratan Sulawesi Tenggara selain suku Muna dari Pulau Muna dan Suku Buton yang berasal dari pulau Buton. Sekitar abad ke-10 daratan Sulawesi Tenggara memiliki dua kerajaan besar yaitu kerajaan Konawe (wilayah Kabupaten Konawe) dan Kerajaan Mekongga (Wilayah Kabupaten Kolaka) secara umum kedua Kerajaan ini serumpun dan dikenal sebagai suku Tolaki. Dalam tulisan ini saya akan membahas secara singkat tentang Kebudayaan masyarakat Tolaki.
Dalam perjalanan sejarah Kerajaan Konawe yang berkedudukan di Unaaha pernah menerapkan perangkat pemerintahan yang dikenal dengan SIWOLE MBATOHU sekitar tahun 1602/1666 yaitu :
1) Tambo I ´Losoano Oleo
2) Tambo I´ Tepuliano Oleo
3) Bharata I´ Hana;
4) Bharata I´ Moeri
Ditengah-tengah kehidupan sosial kemasyarakatan Tolaki terdapat satu simbol peradaban yang mampu mempersatukan dari berbagai masalah atau persoalan yang mampu mengangkat martabat dan kehormatan mereka disebut: “KALO SARA” serta kebudayaan Tolaki ini yang lahir dari budi, tercermin sebagai cipta rasa dan karsa akan melandasi ketentraman, kesejahteraan kebersamaan dan kehalusan pergaulan dalam bermasyarakat.
Didalam berinteraksi sosial kehidupan bermasyarakat terdapat nilai-nilai luhur lainnya yang merupakan Filosofi kehidupan yang menjadi pegangan , adapun filosofi kebudayaan masyarakat tolaki dituangkan dalam sebuah istilah atau perumpamaan, antara lain sebagai berikut :
- Budaya O’sara (Budaya patuh dan setia dengan terhadap putusan lembaga adat), masyarakat Tolaki merupakan masyarakat lebih memilih menyelesaikan secara adat sebelum dilimpahkan/diserahkan ke pemerintah dalam hal sengketa maupun pelanggaran sosial yang timbul dalam masyarakat tolaki, misalnya dalam masalah sengketa tanah, ataupun pelecehan. Masyarakat tolaki akan menghormati dan mematuhi setiap putusan lembaga adat. Artinya masyarakat tolaki merupakan masyarakat yang cinta damai dan selalu memilih jalan damai dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi.
- Budaya Kohanu (budaya malu), Budaya Malu sejak dulu merupakan inti dari pertahanan diri dari setiap pribadi masyarakat tolaki yang setiap saat, dimanapun berada dan bertindak selalu dijaga, dipelihara dan dipertahankan. Ini bisa dibuktikan dengan sikap masyarakat Tolaki yang akan tersinggung dengan mudah jika dikatakan , pemalas, penipu, pemabuk, penjudi dan miskin, dihina, ditindas dan sebagainya. Budaya Malu dapat dikatakan sebagai motivator untuk setiap pribadi masyarakat tolaki untuk selalu menjadi lebih kreatif, inovatif dan terdorong untuk selalu meningkatkan sumber dayanya masing-masing untuk menjadi yang terdepan.
- Budaya Merou (Paham sopan santun dan tata pergaulan), budaya ini merupakan budaya untuk selalu bersikap dan berperilaku yang sopan dan santun, saling hormat-menghormati sesama manusia. Hal ini sesuai dengan filosofi kehidupan masyarakat tolaki dalam bentuk perumpamaan antara lain sebagai berikut:
Ø “Inae Merou, Nggoieto Ano Dadio Toono Merou Ihanuno”
Artinya :

Barang siapa yang bersikap sopan kepada orang lain, maka pasti orang lain akan banyak sopan kepadanya.
Ø “Inae Ko Sara Nggoie Pinesara, Mano Inae Lia Sara Nggoie Pinekasara”
Artinya :
Barang siapa yang patuh pada hukum adat maka ia pasti dilindungi dan dibela oleh hukum, namun barang siapa yang tidak patuh kepada hukum adat maka ia akan dikenakan sanksi/hukuman.
Ø “Inae Kona Wawe Ie Nggo Modupa Oambo”
Artinya :
Barang siapa yang baik budi pekertinya dia yang akan mendapatkan kebaikan
- Budaya “samaturu” “medulu ronga mepokoo’aso” (budaya bersatu, suka tolong menolong dan saling membantu), Masyarakat tolaki dalam menghadapi setiap permasalahan sosial dan pemerintahan baik itu berupa upacara adat,pesta pernikahan, kematian maupun dalam melaksanakan peran dan fungsinya sebagai warga negara, selalu bersatu, bekerjasama, saling tolong menolong dan bantu-membantu .
- Budaya “taa ehe tinua-tuay” (Budaya Bangga terhadap martabat dan jati diri sebagai orang tolaki), budaya ini sebenarnya masuk kedalam “budaya kohanu” (budaya malu) namun ada perbedaan mendasar karena pada budaya ini tersirat sifat mandiri,kebanggaan, percaya diri dan rendah hati sebagai orang tolaki .
Mudah-mudahan dari sekian banyak nilai-nilai budaya masyarakat Tolaki yang ada, apa Yang kami berikan pada tulisan ini bisa lebih membuka mata dan memberi sedikit gambaran tentang kebudayaan Masyarakat Tolaki. Khasanah kehidupan masyarakat di Kota Kendari Khususnya dan Sulawesi Tenggara Umumnya bukan hanya dipengaruhi oleh nilai-nilai luhur suku bangsa Tolaki tetapi juga oleh masyarakat suku lainnya yang berada di “bumi anoa”, kesemuanya menjadi daya perekat dalam kehidupan bemasyarakat di daerah ini .kerukunan antar ummat beragama juga memberi warna tersendiri ditengah- tengah kepercayaan dan keyakinan untuk menyerahkan diri kepada Tuhannya masing-masing.

Rumah Komali dengan titik pusat tiang Petumbu; Perwujudan “KALO”, Simbol kesatuan Persatuan manusia & alam suku TOLAKI (Kalo: lingkaran konsep dasar)

Secara harfiah “Kalo” adalah suatu benda yang berbentuk lingkaran, cara-cara mengikat yang melingkar, dan pertemuan-pertemuan atau kegiatan bersama di mana para pelaku membentuk lingkaran. Kalo dapat dibuat dari rotan, emas, besi, perak, benang, kain putih, akar, daun pandan, bambu dan dari kulit kerbau. Pembuatan kalo pada dasarnya adalah dengan jalan mempertalikan atau mempertemukan kedua ujung dari bahan-bahan tersebut pada suatu simpul. Kalo meliputi osara (adat istiadat) yang berkaitan dengan adat pokok dalam pemerintahan, hubungan kekeluargaan-kemasyarakatan, aktivitas agama- kepercaya-an, pekerjaan-keahlian dan pertanian (Tarimana 1993: 20).
Dari berbagai jenis kalo, yang dikenal luas adalah yang terbuat dari rotan, kain putih dan anyaman. Lingkaran rotan adalah simbol dunia atas, kain putih adalah simbol dunia tengah dan wadah anyaman adalah simbol dunia bawah. Kadang-kadang juga ada yang mengatakan bawah lingkaran rotan itu adalah simbol matahari, bulan dan bintang-bintang; Kain putih adalah langit dan wadah anyaman adalah simbol permukaan bumi. Mereka juga mengekspresikan bahwa lingkaran rotan adalah simbol Sangia Mbu’u (Dewa Tertinggi), Sangia I Losoanooleo (Dewa di Timur) dan Sangia I Tepuliano Wanua (Dewa penguasa kehidupan di bumi), dan wadah anyaman adalah simbol Sangia I Puri Wuta (Dewa di Dasar Bumi). Kalo juga adalah simbol manusia: lingkaran rotan adalah simbol kepala manusia, kain putih adalah simbol badan dan wadah anyaman adalah simbol tangan dan kaki (angota).
Demikianlah kalo pada pola pikir dan mentalitas Tolaki menyangkut seluruh aspek kehidupan mereka. Kalo juga merupakan ekspresi konsepsi orang Tolaki mengenai unsur-unsur manusia, alam, masyarakat dan hubungan selaras antara manusia dan antara manusia dengan unsur-unsur tersebut, termasuk dalam komunitas dan pola permukiman, organisasi kerajaan dan adat dan norma agama yang mengatur tata kehidupan mereka. Akhirnya dapat dikatakan bahwa kalo melambangkan keselarasan dalam kesatuan-persatuan antara segala hal yang bertentangan dan tampak bertentangan dalam alam tempat berhuni manusia Tolaki. Melihat apa yang dapat disumbangkan konsep kalo tersebut bagi pengembangan filsosofi arsitektur permukiman rakyat, sudah sepantasnya untuk diketahui lanjut dari manakah asal-usul kalo.
Kalo sebagai lambang kesatuan/persatuan suku Tolaki adalah lambang kebersamaan diiringi oleh ketulusan tanpa egoisme, untuk hidup dalam suatu situasi yang dinamis, di mana setiap orang dalam berbagai perbedaan suku, ras dan agama hidup dalam satu lingkaran yang terjalin dan tersimpul dengan kuat. Dan tentunya hal ini harus dipahami sebagai bentuk kebersamaan yang tidak mudah lepas hanya karena adanya perbedaan pemikiran yang mengakibakan timbulnya kesalahpahaman atau bahkan yang lebih parah dari itu, yakni timbulnya pertikaian. Kesimpulan: konsep kesatuan-persatuan yang dikandung kalo wajib direkontekstualisasikan secara nyata tak hanya dalam masyarakat Tolaki, tetapi juga menjadi pelajaran bagi masyarakat bangsa ini setelah rangkaian perhelatan seminar digelar dan hasilnya ditumpuk-arsipkan.

Asal-usul orang Tolaki dan kalo (dari Negeri Cina)
Gambaran umum masyarakat Tolaki atau Suku Tolaki, merupakan salah satu suku terbesar yang ada di Propinsi Sulawesi Tenggara di samping Suku Buton dan Suku Muna, tersebar di Kab. Kendari dan Kab. Kolaka; yang berada di Kab. Kolaka mendiami daerah Mowewe, Rate-rate dan Lambuya sedangkan yang berada di Kab. Kendari mendiami daerah Asera, Lasolo, Wawotobi, Abuki dan Tinanggea. Orang Tolaki pada mulanya menamakan dirinya Tolohianga (orang dari langit). Menurut Tarimana (1993), mungkin yang dimaksud “langit” adalah “kerajaan langit” sebagaimana dikenal dalam budaya Cina (Granat, dalam Needhan 1973 yang dikutip Tarimana). Dalam dugaannya, ada keterkaitan antara kata “hiu” yang dalam bahasa Cina berarti “langit” dengan kata “heo” (Tolaki) yang berarti “ikut pergi ke langit”.
Sedikit fenomena linguistik itu memang sangat mudah memancing komparasi karakter tektonik arsitektur Tolaki ke Cina, sehingga ada beberapa pihak yang memperban-dingkan bubungan atap lengkung gaya komali dengan kurva atap kelenteng Cina. Namun atap lengkung bukan monopoli Cina. Dari rumah adat Yulong di Vietnam, Minangkabau sampai yang terdekat dengan tempat kediaman orang Tolaki yaitu tongkonan Toraja, kesemuanya memakai atap berbubungan lengkung.
Jadi sebetulnya tak terlalu mudah untuk menghubungkan peradaban Tolaki dengan Cina. Hipotesis tentang hubungan kesejarahan Tolaki-Cina tampaknya masih sangat perlu didukung oleh kajian antropologi linguistik dan sejarah etnografi arsitektural yang lebih memadai. Apalagi jika yang hendak dikaji bukan hanya bentuk tektoniknya saja tetapi pandangan hidup dan kehidupan masyarakat Tolaki. Pertanyaan penting antara lain: dapatkah melacak sejarah mentalitas yang dikandung konsep kalo ke Cina, mengingat unsur konsepsual utama budaya konfusian Cina adalah kesetimbangan dualitas yin-yang dan bukan keselarasan lingkaran kehidupan dalam kesatuan-persatuan sebagaimana kalo? Apapun wacana yang dapat dikembangkan, asal-usul budaya dan peradaban Tolaki tampaknya lebih mudah diterima jika dikaitkan dengan pola migrasi neo-litikum yang lebih umum: bangsa-bangsa Sulawesi bermigrasi dari jalur Asia Tenggara ke Kepulauan Pilipina; sedangkan mereka yang datang dari arah Selatan bisa jadi berasal dari Pulau Jawa lewat Pulau Buton.
Selain asal-usulnya, hal yang juga sukar diketahui dengan pasti adalah masa pemerintahan raja-raja dalam legenda rakyat tentang dua kerajaan besar lokal: Konawe dan Mekongga. Menurut tradisi tutur, raja Sangia Ngginoburu (Konawe) dan raja Sangia Nibandera (Mekongga) diperkirakan memerintah pada saat Islam telah diterima (Tarimana 1993).
pelajaran bagi masyarakat bangsa ini— setelah rangkaian perhelatan seminar digelar dan hasilnya ditumpuk-arsipkan.

Makna “KALO” dalam budaya suku TOLAKI

Perwujudan "KALO", simbol kesatuan-persatuan manusia & alam Suku Tolaki Rumah Komali dengan Titik Pusat Tiang Petumbu Kota Kendari mengelilingi Teluk Kendari. Apakah posisi geografis ini berhubungan dengan konsep "KALO"? Sungguh tak mudah untuk memastikan, meskipun kenyataannya memang geografi Kendari seolah membentuk “KALO”.(Sumber:Rencana Tata Ruang Kota Kendari 1999/2000, Dinas Tata Kota Kendari).
“KALO” dari rotan dengan anyaman bambu dan kain putih (Sumber: Tarimana,1993:208) *KALO: lingkaran konsep dasar *Secara harfiah "Kalo" adalah suatu benda yang berbentuk lingkaran, cara-cara mengikat yang melingkar, dan pertemuan-pertemuan atau kegiatan bersama di mana para pelaku membentuk lingkaran. Kalo dapat dibuat dari rotan, emas, besi, perak, benang, kain putih, akar, daun pandan, bambu dan dari kulit kerbau. Pembuatan kalo pada dasarnya adalah dengan jalan mempertalikan atau mempertemukan kedua ujung dari bahan-bahan tersebut pada suatu simpul. Kalo meliputi /osara/ (adat istiadat) yang berkaitan dengan adat pokok dalam pemerintahan, hubungan kekeluargaan-kemasyarakatan, aktivitas agama- kepercaya-an, pekerjaan-keahlian dan pertanian (Tarimana 1993: 20).
Dari berbagai jenis kalo, yang dikenal luas adalah yang terbuat dari rotan, kain putih dan anyaman. Lingkaran rotan adalah simbol dunia atas, kain putih adalah simbol dunia tengah dan wadah anyaman adalah symbol dunia bawah. Kadang-kadang juga ada yang mengatakan bawah lingkaran rotan itu adalah simbol matahari, bulan dan bintang-bintang; Kain putih adalah langit dan wadah anyaman adalah simbol permukaan bumi. Mereka juga mengekspresikan bahwa lingkaran rotan adalah simbol Sangia Mbu’u Dewa Tertinggi), /Sangia I Losoanooleo/ (Dewa di Timur) dan /Sangia Tepuliano Wanua/ (Dewa penguasa kehidupan di bumi), dan wadah anyaman adalah simbol /Sangia I Puri Wuta/ (Dewa di Dasar Bumi). Kalo juga adalah simbol manusia: lingkaran rotan adalah simbol kepala manusia, kain putih adalah simbol
badan dan wadah anyaman adalah simbol tangan dan kaki (angota).
Demikianlah /kalo/ pada pola pikir dan mentalitas Tolaki menyangkut seluruh aspek kehidupan mereka./ Kalo/ juga merupakan ekspresi konsepsi orang Tolaki mengenai unsur-unsur manusia, alam, masyarakat dan hubungan selaras antarmanusia dan antara manusia dengan unsur-unsur tersebut, termasuk dalam komunitas dan pola permukiman, organisasi kerajaan dan adat dan norma agama yang mengatur tata kehidupan mereka. Akhirnya dapat dikatakan bahwa /kalo/ melambangkan keselarasan dalam kesatuan-persatuan antara segala hal yang bertentangan dan tampak bertentangan dalam alam tempat berhuni manusia Tolaki.
Melihat apa yang dapat disumbangkan konsep /kalo/ tersebut bagi pengembangan filsosofi arsitektur permukiman rakyat, sudah sepantasnya untuk diketahui lanjut dari manakah asal-usul /kalo/. Rumah / anakea/ dari Lambuya dengan bentuk atap lengkung,
merendah di bagian tengah. / /(Sumber: Sarasin dalam Bungalaw, 1994, dikutip Tarimana,
1993)/

Tiang Petumbu sebagai pusat Rumah Komali

Rumah adat Tolaki telah lenyap. Upaya rekonstruksi digalakkan, antara lain lewat Seminar Penelusuran Arsitektur Tradisional Tolaki Fak. Tek. Universitas Haluoleo, Maret 2004 . Dari studi intensif dan keterangan para nara sumber yang ada, beberapa hal dapat disimpulkan (Faslih, 2004). Antara lain, bahwa rumah adat Tolaki dapat berupa komali (rumah istana raja) atau laika (rumah tempat orang tinggal). Namun antara rumah raja dan rumah rakyat, yang membedakan adalah besar dan luasnya saja: rumah raja 40 depa rumah rakyat minimal 3 depa. Rumah hanya salah satu dari beberapa jenis shelter dalam peradaban arsitektur Tolaki, yaitu: tempat berlindung sementara (pineworu), pondok berlantai tanah ditengah ladang (laikawatu), tempat berlindung yang dipindah-pindahkan (payu), dangau (patande) dan lumbung (o ala). Pola tatanan permukiman pun tak lepas dari konsep kalo: konsentrik dengan posisi rumah raja/kepala suku berada di bagian tengah (Tarimana 1993).

Menurut para nara sumber adat dalam hasil studi arsitektural dan etnografi, yang menjadi core element dalam rumah adat Tolaki adalah 9 jajar tiang dengan diperkuat balok melintang (powuatako) dan memanjang (nambea). Dalam jajaran tiang ini terdapat satu tiang utama yang disebut dengan tiang petumbu yang terletak ditengah baris dan lajur ke-9 tiang ini. Tiang petumbu adalah tiang yang pertama kali ditanam dan pemasangannya dilakukan pada waktu subuh (sebelum matahari terbit). Setelah petumbu didirikan, 4 hari atau lebih baru didirikan tiang-tiang lainnya dengan maksud untuk melihat dalam jangka waktu tertentu apakah akan terjadi sesuatu pada tiang petumbu. Jika tidak terjadi sesuatu maka dilakukan pemasangan ke-9 tiang yang lainnya.
Setelah ke-9 tiang berdiri yang pertama dipasang adalah balok powuatako (A) pada sisi dalam tiang arah bagian belakang rumah, selanjutnya balok B dan C. Setelah balok powuatako dipasang selanjutnya pemasangan balok nambea (1) dimulai dari arah kanan rumah, kemudian menyusul nambea 2 dan nambea 3. Semua Powuatako dan nambea, baik yang melintang maupun yang memanjang yang menempel pada tiang dipinggir luar badan bangunan, harus ditempatkan di belakang tiang. Agar setelah dinding dipasang tiang tak akan kelihatan dari luar, karena terhalang oleh dinding.
Rumah Komali berbentuk rumah panggung yang menggunakan tiang-tiang bundar (tusa), tidak menggunakan pondasi seperti halnya rumah-rumah adat yang lain. Tiang ditanam sedalam satu hasta, tiang yang akan ditanam ke dalam tanah sebelumnya dibakar pada bagian selubung (permukaan tiang) hingga menjadi arang, selanjutnya tiang yang dibakar tadi dibungkus dengan ijuk dan diikat persegmen dengan menggunakan rotan. Makna kedalaman satu hasta tidak ada, hanya terkait dengan kemudahan penggalian dan pengang-katan tanah ke permukaan. Tiamh dibakar dan dibung-kus bertujuan agar permukaan selubung tiang menjadi arang agar tiang tidak mudah dimakan rayap dan agar arang tersebut tetap melekat pada selubung tiang.
Tinggi tiang dari permukaan tanah hingga ke permukaan lantai diperkirakan kerbau bisa masuk dibawahnya, kurang lebih 2 m. Jumlah tiang untuk Komali adalah 40 tiang di luar tiang dapur dan tiang teras. Makna dari jumlah 40 tiang ini terkait dengan suatu jumlah yang disaratkan dalam meminang yaitu 40 pinang dan 40 lembar daun sirih. Jadi perwujudan ini diejawantahkan dalam tiang-tiang penopang rumah. Jika dianalisis dari segi fungsi maka jumlah 40 tiang merupakan jumlah tiang yang mewakili satu rumah besar, yang hanya dibangun oleh tokoh tertinggi adat (Mokole).

Hubungan antara balok powuatako, nambe dengan tiang, diikat dengan rotan. Cara mengikat; pertama rotan pengikat diikatkan pada powuatako atau nambea bukan pada tiang. Putaran pertama kali silang ke arah kanan sebanyak 4 putaran selanjutnya pada arah silang kiri sebanyak 3 kali putaran terakhir di tinohe di antara tiang dan powuatako atau nambea. Setelah pemasangan kesembilan tiang ini barulah bisa dilakukan pemasangan tiang-tiang tambahan lainnya sesuai dengan luasan dan kebutuhan yang dikehendaki.
Kesembilan tiang yang merupakan core element dalam rumah adat Tolaki merupakan symbol dari siwolembatohu yaitu delapan penjuru mata angin. Tiang petumbu merupakan pusat dari siwolembatohu. Oleh karena itu, inilah yang menjadi dasar pemikiran mengapa tiang petumbulah yang pertama kali dibangun bahkan dalam pemasangannya diikuti oleh upacara ritual dan pada bagian puncaknya diberi ramuan guna memohon kepada Tuhan agar seisi rumah yang menempati rumah ini dapat terhindar dari berbagai bahaya yang datang dari delapan penjuru mata angin.

Tarian Lulo

Tarian Malulo atau Lulo (dari Bahasa Tolaki: Molulo), merupakan salah satu jenis kesenian tari tradisional dari daerah Sulawesi Tenggara, Indonesia. Di Kendari (Sulawesi Tenggara – Indonesia) terdapat beberapa suku. Suku Tolaki sebagai salah satu suku yang berada di daerah ini memiliki beberapa tarian tradisional , salah satu tarian tradisional yang masih sering dilaksanakan hingga saat ini adalah tarian persahabatan yang disebut tarian Lulo.
Pada zaman dulu, tarian ini dilakukan pada upacara-upacara adat seperti : pernikahan, pesta panen raya dan upacara pelantikan raja, yang diiringi oleh alat musik pukul yaitu gong. Tarian ini dilakukan oleh pria, wanita, remaja, dan anak-anak yang saling berpegangan tangan, menari mengikuti irama gong sambil membentuk sebuah lingkaran. Gong yang digunakan biasanya terdiri dari 2 macam yang berbeda ukuran dan jenis suara. Saat sekarang utamanaya di daerah perkotaan , gong sebagai alat musik pengiring tarian lulo telah digantikan dengan alat musik modern yaitu “Electone”.

Filosofi tarian

Adapun filosofi tarian “lulo” adalah persahabatan, yang biasa ditujukan kepada muda-mudi suku Tolaki sebagai ajang perkenalan, mencari jodoh, dan mempererat tali persaudaraan. Tarian ini dilakukan dengan posisi saling bergandengan tangan dan membentuk sebuah lingkaran. Peserta tarian ini tidak dibatasi oleh usia maupun golongan, siapa saja boleh turut serta dalam tarian lulo, kaya miskin, tua, muda boleh bahkan jika anda bukan suku Tolaki atau dari negara lain bisa bergabung dalam tarian ini, yang penting adalah bisa mengikuti gerakan tarian ini. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah posisi tangan saat bergandengan tangan, untuk pria posisi telapak tangan di bawah menopang tangan wanita. Posisi tangan ini merupakan simbolisasi dari kedudukan, peran, etika pria dan wanita dalam kehidupan.
Yang terpenting dari semua itu adalah arti dari tarian Lulo sendiri, yang mencerminkan bahwa masyarakat Tolaki adalah masyarakat yang cinta damai dan mengutamakan persahabatan dan persatuan dalam menjalani kehidupannya. Seperti filosofi masyarakat Tolaki yang diungkapkan dalam bentuk pepatah samaturu, medulu ronga mepokoaso, yang berarti masyarakat Tolaki dalam menjalani perannya masing-masing selalu bersatu, bekerja sama, saling tolong–menolong dan bantu-membantu. Tetapi saat ini tarian lulo telah mengalami proses adaptasi terutama dalam hal variasi gerakan dan juga musik yang mengiringinya, jika dahulu masyarakat suku tolaki menggunakan alat musik pukul yang dikenal dengan sebutan “Gong” saat ini telah menggunakan alat musik elektronik yaitu organ tunggal (electone) begitu juga dengan variasi gerakannya, mulai dari lulo dengan gerakan lambat (santai) sampai gerakan yang cepat.

Kesimpulan Penyebab Terjadinya Kemerosotan Penggunaan Bahasa Tolaki dikalangan anak-anak diantaranya adalah :

1. Anak-anak dikota sudah tidak tahu bahasa tolaki.
2. Bahasa tolaki sudah banyak dicampuri dengan kata-kata bahasa Indonesia.
3. kata-kata halus bahasa tolaki sudah jarang dimengerti.
4. Pemuda yang pernah sekolah dikota pulang ke kampung tetap menggunakan bahasa Indonesia.
5 ketika bertemu sesama suku tolaki di luar daerah, sudah malu memakai bahasa tolaki.
tetapi ada satu gejala yang yang akan menjadi penyebab utama kepunahan bahasa tolaki, yaitu : Orang tua dikampung tidak memakai bahasa tolaki dengan anaknya.
Proses kepunahan ini akan melalui tiga tahap :
Tahap I :
orang tua didesa memakai bahasa tolaki antara suami isteri, tetapi memakai bahasa Indonesia dengan anak-anak mereka.
Tahap II :
Orang tua memakai bahasa Indonesia antara suami isteri, dan juga berbahasa Indonesia dengan anak.
Tahap III :
Orang tua hanya memakai bahasa Indonesia di rumah.

(Peta Kebudayaan dan Sumberdaya Alam Sulawesi Tenggara)