Lembar

Jumat, 16 April 2010

SEJARAH KEBUDAYAAN DAN ADAT SUKU TOLAKI


Penulis : Suharta TolaQ""

"KUMPULAN DARI BEBERAPA LITERATUR ANAKIA MEOHAI"
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah…
Wassalatu Wassalam Alaa Rasulillah, Wa ala Allihi Wassabihi Aj’main Amma Ba’du…
Audzubillahhiminazzaitanirajim…Bismillahhirrahmanirrahim……..
Sannurihim Ayyatina Fil afaqi Wafi Ampusihim..Hatta Yatayabannalahum Annaul Haq….
Affalan Yafti Birabbika…Annahu Alla Kulli Say’in Sahid….
Bismillah Hirrahmanirrahim….
Rabbi syrahli Sadri Waya Sirrli Amri Wahlul Uhdatan Minlisahni Yaf Kaukaulli…..

Puji syukur kita panjatkan atas kekuasaan Allah Subhanawata’ala sang penguasa alam semesta yang maha pengetahui dan maha bijak bagi seluruh mahluknya serta memberi kesehatan kepada penulis sehingga tulisan ini dapat tersusun sebagaimana kiranya, Tak lupa pula kita junjung tinggi rasulullah SallaulahWalaiwasalam dimana sahabat dan keluarganya telah memperjuangkan agama yang dimuliakan Allah Subhanawata’ala untuk kita…Amin!!!

Dan juga penulis ucapkan terimakasih atas acuan literatur yang dibuat dari saudara-saudara penulis yang tak sempat penulis sebut namanya satu persatu di dalam media internet yang merupakan acauan dari latar belakang dan pustaka sehingga dapat membantu penulis dalam menyusun buku tentang sejarah kebudayaan dan adat tolaki. Dalam hal ini kita ketahui bersama bahwa perkembangan inovasi kebudayaan suku tolaki dalam era pengetahuan dan teknologi semakin hari semakin berkurang, sehingga penulis termotivasi untuk menyusun walaupun masih ada kekurangannya. Harapan penulis dengan terbitnya buku ini insya Allah dapat memanfaatkan dan menanamkan seni-seni kebudayaan bagi generasi khususnya generasi suku tolaki itu sendiri sehingga dapat mempertahankan kebudayaan dan kekayaan adat-istiadat suku tolaki.

Demikianlah yang dapat penulis sampaikan, apabila didalam penulisan terdapat kesamaan dan kekurangan dalam penulisan mohon dimaafkan. Sebab penulis juga hanya manusia biasa yang tak luput dari kekurangan dan kesalahan karena itu, kesempurnaan hanya milik Allah Subhanawata’ala…
Wassalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Makassar, 03 November 2009



Suharta Amijaya Husen, S.Kel. M.Si


PENDAHULUAN

ADAT ISTIADAT SULAWESI TENGGARA

Penduduk Sulawesi Tenggara umumnya beragama Islam. Namun demikian dalam kehidupan sehari-hari masih terlihat sisa-sisa dari kepercayaan mereka yang terdahulu yang taat hubungannya dengan animisme dan dinamisme. Karena itu di kalangan masyarakat terdapat berbagai upacara keagamaan yang dilaksanakan. Misalnya upacara Monahu khau yakni upacara setelah potong padi. Di kalangan suku Tolaki yang beragama Kristen upacara ini mewujudkan dalam bentuk kebaktian pengucapan Syukur tahunan yang dilaksanakan di gereja. Sedangkan di daerah-daerah tertentu upacara manahu udhan, dilakukan sangat meriah terutama di desa Benua kecamatan Lambuya. Upacara ini dilaksanakan di lapangan terbuka, selama tiga malam berturut dan dipimpin seorang dukun yang disebut mbusehe. Saat dilaksanakan biasanya pada bulan September, semalam sebelum sampai dengan sesudah bulan purnama.
Sebagai alat penerangannya adalah sinar bulan tersebut dan tidak boleh menggunakan lampu. Kemudian para peserta yang biasanya terdiri dari rakyat petani pada umumnya, menari bergandengan tangan mengelilingi nilavaka yakni bangunan darurat tempat menaruh gendang dan alat musik lainnya. Malam ketiga atau penutupan, pagi-pagi hari diadakan upacara korban atau musehe yang dilakukan oleh dukun.
Selain upacara yang berhubungan dengan pertanian, maka dalam kehidupan individu atau siklus kehidupan juga dilakukan berbagai upacara mulai dari saat seorang wanita hamil, melahirkan, kemudian dewasa, melaksanakan perkawinan kemudian kematian. Upacara yang berhubungan dengan lingkaran kehidupan ini antara lain Meosambaki yaitu selamatan bagi anak pertama yang berusia 7 hari, Mekui atau Mosere Curu yakni pemotongan rambut pada waktu bayi berumur 7 tahun, biasanya satu sampai empat malam anak ini dikurung, dan pada upacara ini anak tersebut disunat atau Manggilo. Kemudian upacara Mee Eni bila anak berusia 15 tahun hingga masa peralihan dari kanak-kanak hingga dewasa.
Dalam upacara ini diadakan perataan gigi dengan benda keras, biasanya batu atau kikir. Dalam upacara perkawinan yang lazim, selalu didahului dengan peminangan. Namun ada juga yang melakukan kawin lari, tanpa peminangan kepada pihak sang gadis. Karenanya cara perkawinan di daerah Sulawesi Tenggara dibedakan kedalam 4 macam, yaitu Mesasapu, bentuk perkawinan dengan peminangan, perkawinan lari bersama disebut Ropolasu atau humbuni, bila kawin lari dengan paksa oleh pihak laki-laki disebut pinola suako atau popalaisaka. Dalam perkawinan bawa lari atau lari bersama ini pihak laki-laki dikenakan sangsi berupa pembayaran yang tinggi kepada orang tua si gadis. Bentuk perkawinan keempat adalah moruntandole atau uncura yakni bila lamaran ditolak atau si gadis sudah dipertunangkan dengan pamuda lain, maka pihak orang tua laki-laki mendesak untuk melaksanakan perkawinan antara anaknya dengan sigadis saat itu juga.
Dalam mengurus mayat suku-suku bangsa di Sulawesi Tenggara bila seorang raja cara-cara bangsawan meninggal, sebagai pertanda dipukul gong secara berkepanjangan disebut batubangewea. Di saat nafas terakhir disembelihkan seekor kerbau yang disebut katu mbenao. Kemudian kepada semua kerabat diberi tahu dengan mendatanginya, oleh orang yang diberi tugas dengan membawa perangkat adat berupa lingkaran rotan dililit tiga dan diikat secarik kain putih. Dengan cara ini, yang didatangi sudah mengerti bahwa itu merupakan berita kematian. Setelah mayat disimpan semalam lalu dimasukkan ke dalam tempat semacam peti mati yang disebut soronga, dibuat dari sebatang pohon. Setelah itu mayat dalam soronga di bawa ke gua batu atau disimpan dalam rumah-rumah yang khusus dibuatkan untuk itu, biasanya di tengah hutan.

Pengertian kebudayaan Secara Umum

Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Kebudayaan dalam bahasa Inggris disebut culture. Kata tersebut sebenarnya berasal dari bahasa Latin = colere yang berarti pemeliharaan, pengolahan tanah menjadi tanah pertanian. Selanjutnya kata itu diberi arti “pembentukan dan pemurnian jiwa”. Manusia memiliki unsur-unsur potensi budaya yaitu pikiran (cipta), rasa, dan kehendak (karsa). Hasil ketiga potensi budaya itulah yang disebut kebudayaan. Dengan kata lain kebudayaan adalah hasil cipta, rasa dan karsa manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan cipta manusia mengembangkan kemampuan alam pikir yang menimbulkan ilmu pengetahuan. Dengan rasa manusia menggunakan panca inderanya yang menimbulkan karya-karya seni atau kesenian. Dengan karsa manusia menghendaki kesempurnaan hidup, kemuliaan dan kebahagiaan sehingga berkembanglah kehidupan beragama dan kesusilaan.
Budaya adalah suatu pola dari keseluruhan keyakinan dan harapan yang dipegang teguh secara bersama oleh semua anggota organisasi dalam pelaksanaan pekerjaan yang ada dalam organisasi tersebut. Dengan demikian, budaya dalam suatu organisasi adalah menjadi pengikat semua karyawan secara bersama dalam organisasi tersebut dan sekaligus sebagai pemberi arti dan maksud dalam keterlibatan karyawan tersebut dalam pekerjaan sehari-hari dari organisasi.
Budaya adalah suatu pola dari asumsi-asumsi dasar (keyakinan dan harapan) yang ditemukan ataupun dikembangkan oleh suatu kelompok tertentu dari organisasi, dan kemudian menjadi acuan dalam mengatasi persoalan-persoalan yang berkaitan dengan adaptasi keluar dan integrasi internal, dan karena dalam kurun waktu tertentu telah berjalan/berfungsi dengan baik, maka dipandang sah, karenanya dibakukan bahwa setiap anggota organisasi harus menerimanya sebagai cara yang tepat dalam pendekatan pelaksanaan pekerjaan-pekerjaan dalam organisasi oleh Shein (1985-1990).
Budaya dalam arti yang luas adalah suatu keadaan akibat perilaku manusia yang secara perorangan atau kelompok, bermasyarakat dan bernegara yang dapat mempengaruhi kehidupan yang damai dan tenteram, sejahtera dalam arti bahwa semua dapat hidup sehat diatas garis kemiskinan, tidak membedakan suku, etnik, ras dan jenis kelamin, tidak mencemari dan merusak lingkungan, tidak meracuni sumberdaya alam terbaharukan dan tidak terbaharukan, yang secara demokratis menjunjung tinggi hak dan kewajiban asasi manusia, memberi kebebasan untuk beragama, kebebasan mengeluarkan pendapat dan kebebasan dapat menikmati pendidikan sesuai bakat dan keinginannya oleh Bacharuddin Jusuf Habibie.
Pengertian kebudayaan yang dikemukakan oleh E.B. Taylor maupun dalil-dalil yang di kemukakan oleh Herkovits masih bersifat luas sehingga pengkajian kebudayaan sangat bervariasi. Menurut Krober dan Klukhon (1950) kebudayaan, definisinya adalah kebudayaan terdiri atas berbagai pola, bertingkah laku mantap, pikiran, perasaan dan reaksi yang diperoleh dan terutama diturunkan oleh simbol-simbol yang menyusun pencapaiannya secara tersendiri dari kelompok-kelompok manusia, termasuk di dalamnya perwujudan benda-benda materi; pusat esensi kebudayaan terdiri atas tradisi cita-cita atau paham, dan terutama keterikatan terhadap nilai-nilai.

Sejarah Suku Tolaki
(To’olaki, Lolaki, Lalaki, Laki, Kolaka, “Noie”, “Noihe”, “Nehina”, “Nohina”, “Nahina”, “Akido”) 281,000, termasuk 230,000 Konawe, 50,000 Mekongga, 650 Asera, lebih sedikit dari 100 Wiwirano, 200 Laiwui (1991 D. Mead SIL). Asal kata TOLAKI, TO=orang atau manusia, LAKI= Jenis kelamin laki-laki,..manusia yang memiliki kejantanan yang tinggi, berani dan menjunjung tinggi kehormatan diri/harga diri. Suku Tolaki, salah satu suku terbesar yang ada di Propinsi Sulawesi Tenggara di samping Suku Buton dan Suku Muna, tersebar di Kab. Kendari dan Kab. Kolaka; yang berada di Kab. Kolaka mendiami daerah Mowewe, Rate-rate dan Lambuya sedangkan yang berada di Kab. Kendari mendiami daerah Asera, Lasolo, Wawotobi, Abuki dan Tinanggea. Orang Tolaki pada mulanya menamakan dirinya Tolohianga (orang dari langit). Menurut Tarimana (1993), mungkin yang dimaksud “langit” adalah “kerajaan langit” sebagaimana dikenal dalam budaya Cina (Granat, dalam Needhan 1973 yang dikutip Tarimana). Dalam dugaannya, ada keterkaitan antara kata “hiu” yang dalam bahasa Cina berarti “langit” dengan kata “heo” (Tolaki) yang berarti “ikut pergi ke langit”.
Sulawesi Tenggara, Kendari dan Kolaka. Mekongga di Pegunungan Mekongga di pinggiran barat dekat Soroako. Austronesia, Malayo-Polynesia, Malayo-Polynesia Barat, Sulawesi, Sulawesi Tengah, tengah Barat, Bungku-Mori-Tolaki, Tolaki. Dialek: Wiwirano, Asera, Konawe (Kendari), Mekongga (Bingkokak), Norio, Konio, Tamboki (Tambbuoki), Laiwui (Kioki). Wiwirano memiliki 88% kemiripan bahasa dengan Asera, 84% dengan Konawe, 85% dengan Mekongga, 81% dengan Laiwui, 78% dengan Waru, 70% dengan Rahambuu dan Kodeoha, 54% dengan Mori dan Bungku. Mekongga memiliki 86% kemiripan dengan Konawe, 80% dengan Laiwui. Tes kejelasan dibutuhkan dengan dialek yang tersusun diatas, Mekongga, dan Waru.
Nama-nama negatif tidak lagi dipergunakan. Wiwirano hanya dituturkan oleh para tetua. Kamus. Tatabahasa. Tolaki merupakan salah satu kelompok etnis mayoritas di Sulawesi bagian selatan. Bahasa mereka disebut Bahasa Tolaki, dan masyarakatnya juga dikenal dengan nama itu. Mereka tidak menjadi bingung dengan Lolak di Sulawesi bagian utara.
Tolaki terdiri atas beberapa sub-kelompok, termasuk Bingkokak. Sedikit saja yang diketahui tentang gaya hidup dan budaya mereka, tetapi diduga bahwa cara hidup mereka sangat mirip dengan etnis tetangga mereka, Pancana dan Maronene.

Sulawesi merupakan sebuah pulau dengan panjang garis pantai sekitar 3.500 mil, terdiri atas empat semenanjung utama yang terpisahkan oleh teluk dalam, dengan dua semenanjung mengarah ke selatan dan dua lainnya ke utara. Di bagian selatan pulau ini terdapat salah satu gunung tertinggi, yaitu Gunung Lompobatang, sebuah gunung api pasif yang mencapai ketinggian 9.419 kaki. Meskipun beriklim tropis, daerah ini dipengaruhi oleh ketinggian dan kedekatan dengan laut.
Tolaki adalah salah satu suku yang ada di Sulawesi Tenggara.mendiami daerah yang berada di sekitar kota kendari, Kabupaten konawe, Konawe Selaten, Konawe Utara, Kolaka dan Kolaka Utara. Suku Tolaki berasal dari kerajaan Konawe. masyarakat Tolaki umumnya merupakan peladang dan petani yang handal, hidup dari hasil ladang dan persawahan yang di buat secara gotong-royong keluarga. Raja Konawe yang terkenal adalah Haluoleo (delapan hari). Masyarakat Kendari percaya bahwa garis keturunan mereka berasal dari daerah Yunani Selatan yang sudah berasimilasi dengan penduduk setempat, walaupun sampai saat ini belum ada penelitian atau penelusuran ilmiah tentang hal tersebut. Karena masyarakat tolaki hidup berladang dan bersawah, maka ketergantungan terhadap air sangat penting untuk kelangsungan pertanian mereka. untunglah mereka memiliki sungai terbesar dan terpanjang di provinsi ini. Sungai ini dinamai sungai Konawe. yang membelah daerah ini dari barat ke selatan menuju Selat Kendari.
Bagi orang Tolaki, padi-padian yang tumbuh di ladang menjadi makanan pokok, tetapi mereka juga menanam ubi jalar, tebu, aneka macam sayuran, tembakau, dan kopi. Selain itu ada pula makanan pokok yang berasal dari pohon sagu (tawaro) dan dikelola dengan cara memotong batang pohon sagu yang kemudian diiris isi dari batangnya setelah itu dilakukan Lumanda atau meratakan hasil irisan tersebut didalam tempat penampungan sehingga hasil dari proses semua itu akan menjadi sagu (tawaro)/Sinonggi (siap saji). Rumah mereka yang umumnya berbentuk rumah panggung tersebar diantara lahan-lahan yang telah dibuka. Rumah-rumah tersebut umumnya terbuat dari daun nipa yang dianyam dan memiliki atap yang tinggi.
Perbedaan kelas sosial, dengan bangsawan atas, bangsawan bawah serta masayarakat biasa, masih dipegang teguh oleh kebanyakan komunitas di Sulawesi. Tiap kelas sosial biasanya memiliki cara bersikap mereka sendiri, diantara berbagai macam budaya dan tradisi. Wilayah dibagi menjadi desa, dan hak pemanfaatan lahan diatur oleh lembaga desa. Akan tetapi, lembaga tersebut pada akhirnya memegang kepemilikan atas lahan.

Tradisi perkawinan etnis Tolaki mensyaratkan pembayaran kepada keluarga Si gadis pada saat pertunangan dan perkawinan. Nilai mahar tergantung pada tingkatan sosial dari Si pemuda. Sebelum perkawinan, pemuda tersebut harus melayani dan menjalani masa percobaan dengan calon mertuanya, dan persyaratan ini memperkuat tingkatan pertunangan yang lebih tinggi. Dahulu, para budak dan turunan mereka tidak diperbolehkan kawin satu sama lain, meskipun mereka bisa hidup bersama. Juga, perempuan bangsawan tidak boleh menikah dengan orang jelata. Poligami (memiliki istri lebih dari satu) umum terjadi antar bangsawan, tetapi sekarang tidak lagi dilakukan.
Islam merupakan agama dominan di Indonesia saat ini dan dijalankan bagi kebanyakan penduduknya. Hindu, tersebar luas di nusantara sebelum abat keempat, dan sekarang hanya tinggal dijalankan oleh sejumlah kecil penduduk, terutama di Pulau Bali. Sekitar 13% dari total penduduk Indonesia beragama Kristen, utamanya Protestan, dan banyak etnis China memeluk agama Buddhist-Taoist. Animisme (kepercayaan akan benda-benda non-manusia memiliki roh) dianut oleh suku-suku yang tinggal di daerah terpencil. Islam telah dominan sejak tahun 1600-an, dan etnis Tolaki pada prakteknya merupakan Muslim Sunni . Akan tetapi, kepercayan tradisonal masih amat penting, terutama kepercayaan akan roh jahat. Hanya sekitar 1% masyarakat Tolaki beragama Kristen

Kebudayaan Masyarakat Tolaki
Kota Kendari terdiri dari beberapa suku bangsa, salah satunya adalah suku bangsa Tolaki. Suku ini merupakan suku asli di daratan Sulawesi Tenggara selain suku Muna dari Pulau Muna dan Suku Buton yang berasal dari pulau Buton. Sekitar abad ke-10 daratan Sulawesi Tenggara memiliki dua kerajaan besar yaitu kerajaan Konawe (wilayah Kabupaten Konawe) dan Kerajaan Mekongga (Wilayah Kabupaten Kolaka) secara umum kedua Kerajaan ini serumpun dan dikenal sebagai suku Tolaki. Dalam tulisan ini saya akan membahas secara singkat tentang Kebudayaan masyarakat Tolaki.
Dalam perjalanan sejarah Kerajaan Konawe yang berkedudukan di Unaaha pernah menerapkan perangkat pemerintahan yang dikenal dengan SIWOLE MBATOHU sekitar tahun 1602/1666 yaitu :
1) Tambo I ´Losoano Oleo
2) Tambo I´ Tepuliano Oleo
3) Bharata I´ Hana;
4) Bharata I´ Moeri
Ditengah-tengah kehidupan sosial kemasyarakatan Tolaki terdapat satu simbol peradaban yang mampu mempersatukan dari berbagai masalah atau persoalan yang mampu mengangkat martabat dan kehormatan mereka disebut: “KALO SARA” serta kebudayaan Tolaki ini yang lahir dari budi, tercermin sebagai cipta rasa dan karsa akan melandasi ketentraman, kesejahteraan kebersamaan dan kehalusan pergaulan dalam bermasyarakat.
Didalam berinteraksi sosial kehidupan bermasyarakat terdapat nilai-nilai luhur lainnya yang merupakan Filosofi kehidupan yang menjadi pegangan , adapun filosofi kebudayaan masyarakat tolaki dituangkan dalam sebuah istilah atau perumpamaan, antara lain sebagai berikut :
- Budaya O’sara (Budaya patuh dan setia dengan terhadap putusan lembaga adat), masyarakat Tolaki merupakan masyarakat lebih memilih menyelesaikan secara adat sebelum dilimpahkan/diserahkan ke pemerintah dalam hal sengketa maupun pelanggaran sosial yang timbul dalam masyarakat tolaki, misalnya dalam masalah sengketa tanah, ataupun pelecehan. Masyarakat tolaki akan menghormati dan mematuhi setiap putusan lembaga adat. Artinya masyarakat tolaki merupakan masyarakat yang cinta damai dan selalu memilih jalan damai dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi.
- Budaya Kohanu (budaya malu), Budaya Malu sejak dulu merupakan inti dari pertahanan diri dari setiap pribadi masyarakat tolaki yang setiap saat, dimanapun berada dan bertindak selalu dijaga, dipelihara dan dipertahankan. Ini bisa dibuktikan dengan sikap masyarakat Tolaki yang akan tersinggung dengan mudah jika dikatakan , pemalas, penipu, pemabuk, penjudi dan miskin, dihina, ditindas dan sebagainya. Budaya Malu dapat dikatakan sebagai motivator untuk setiap pribadi masyarakat tolaki untuk selalu menjadi lebih kreatif, inovatif dan terdorong untuk selalu meningkatkan sumber dayanya masing-masing untuk menjadi yang terdepan.
- Budaya Merou (Paham sopan santun dan tata pergaulan), budaya ini merupakan budaya untuk selalu bersikap dan berperilaku yang sopan dan santun, saling hormat-menghormati sesama manusia. Hal ini sesuai dengan filosofi kehidupan masyarakat tolaki dalam bentuk perumpamaan antara lain sebagai berikut:
Ø “Inae Merou, Nggoieto Ano Dadio Toono Merou Ihanuno”
Artinya :

Barang siapa yang bersikap sopan kepada orang lain, maka pasti orang lain akan banyak sopan kepadanya.
Ø “Inae Ko Sara Nggoie Pinesara, Mano Inae Lia Sara Nggoie Pinekasara”
Artinya :
Barang siapa yang patuh pada hukum adat maka ia pasti dilindungi dan dibela oleh hukum, namun barang siapa yang tidak patuh kepada hukum adat maka ia akan dikenakan sanksi/hukuman.
Ø “Inae Kona Wawe Ie Nggo Modupa Oambo”
Artinya :
Barang siapa yang baik budi pekertinya dia yang akan mendapatkan kebaikan
- Budaya “samaturu” “medulu ronga mepokoo’aso” (budaya bersatu, suka tolong menolong dan saling membantu), Masyarakat tolaki dalam menghadapi setiap permasalahan sosial dan pemerintahan baik itu berupa upacara adat,pesta pernikahan, kematian maupun dalam melaksanakan peran dan fungsinya sebagai warga negara, selalu bersatu, bekerjasama, saling tolong menolong dan bantu-membantu .
- Budaya “taa ehe tinua-tuay” (Budaya Bangga terhadap martabat dan jati diri sebagai orang tolaki), budaya ini sebenarnya masuk kedalam “budaya kohanu” (budaya malu) namun ada perbedaan mendasar karena pada budaya ini tersirat sifat mandiri,kebanggaan, percaya diri dan rendah hati sebagai orang tolaki .
Mudah-mudahan dari sekian banyak nilai-nilai budaya masyarakat Tolaki yang ada, apa Yang kami berikan pada tulisan ini bisa lebih membuka mata dan memberi sedikit gambaran tentang kebudayaan Masyarakat Tolaki. Khasanah kehidupan masyarakat di Kota Kendari Khususnya dan Sulawesi Tenggara Umumnya bukan hanya dipengaruhi oleh nilai-nilai luhur suku bangsa Tolaki tetapi juga oleh masyarakat suku lainnya yang berada di “bumi anoa”, kesemuanya menjadi daya perekat dalam kehidupan bemasyarakat di daerah ini .kerukunan antar ummat beragama juga memberi warna tersendiri ditengah- tengah kepercayaan dan keyakinan untuk menyerahkan diri kepada Tuhannya masing-masing.

Rumah Komali dengan titik pusat tiang Petumbu; Perwujudan “KALO”, Simbol kesatuan Persatuan manusia & alam suku TOLAKI (Kalo: lingkaran konsep dasar)

Secara harfiah “Kalo” adalah suatu benda yang berbentuk lingkaran, cara-cara mengikat yang melingkar, dan pertemuan-pertemuan atau kegiatan bersama di mana para pelaku membentuk lingkaran. Kalo dapat dibuat dari rotan, emas, besi, perak, benang, kain putih, akar, daun pandan, bambu dan dari kulit kerbau. Pembuatan kalo pada dasarnya adalah dengan jalan mempertalikan atau mempertemukan kedua ujung dari bahan-bahan tersebut pada suatu simpul. Kalo meliputi osara (adat istiadat) yang berkaitan dengan adat pokok dalam pemerintahan, hubungan kekeluargaan-kemasyarakatan, aktivitas agama- kepercaya-an, pekerjaan-keahlian dan pertanian (Tarimana 1993: 20).
Dari berbagai jenis kalo, yang dikenal luas adalah yang terbuat dari rotan, kain putih dan anyaman. Lingkaran rotan adalah simbol dunia atas, kain putih adalah simbol dunia tengah dan wadah anyaman adalah simbol dunia bawah. Kadang-kadang juga ada yang mengatakan bawah lingkaran rotan itu adalah simbol matahari, bulan dan bintang-bintang; Kain putih adalah langit dan wadah anyaman adalah simbol permukaan bumi. Mereka juga mengekspresikan bahwa lingkaran rotan adalah simbol Sangia Mbu’u (Dewa Tertinggi), Sangia I Losoanooleo (Dewa di Timur) dan Sangia I Tepuliano Wanua (Dewa penguasa kehidupan di bumi), dan wadah anyaman adalah simbol Sangia I Puri Wuta (Dewa di Dasar Bumi). Kalo juga adalah simbol manusia: lingkaran rotan adalah simbol kepala manusia, kain putih adalah simbol badan dan wadah anyaman adalah simbol tangan dan kaki (angota).
Demikianlah kalo pada pola pikir dan mentalitas Tolaki menyangkut seluruh aspek kehidupan mereka. Kalo juga merupakan ekspresi konsepsi orang Tolaki mengenai unsur-unsur manusia, alam, masyarakat dan hubungan selaras antara manusia dan antara manusia dengan unsur-unsur tersebut, termasuk dalam komunitas dan pola permukiman, organisasi kerajaan dan adat dan norma agama yang mengatur tata kehidupan mereka. Akhirnya dapat dikatakan bahwa kalo melambangkan keselarasan dalam kesatuan-persatuan antara segala hal yang bertentangan dan tampak bertentangan dalam alam tempat berhuni manusia Tolaki. Melihat apa yang dapat disumbangkan konsep kalo tersebut bagi pengembangan filsosofi arsitektur permukiman rakyat, sudah sepantasnya untuk diketahui lanjut dari manakah asal-usul kalo.
Kalo sebagai lambang kesatuan/persatuan suku Tolaki adalah lambang kebersamaan diiringi oleh ketulusan tanpa egoisme, untuk hidup dalam suatu situasi yang dinamis, di mana setiap orang dalam berbagai perbedaan suku, ras dan agama hidup dalam satu lingkaran yang terjalin dan tersimpul dengan kuat. Dan tentunya hal ini harus dipahami sebagai bentuk kebersamaan yang tidak mudah lepas hanya karena adanya perbedaan pemikiran yang mengakibakan timbulnya kesalahpahaman atau bahkan yang lebih parah dari itu, yakni timbulnya pertikaian. Kesimpulan: konsep kesatuan-persatuan yang dikandung kalo wajib direkontekstualisasikan secara nyata tak hanya dalam masyarakat Tolaki, tetapi juga menjadi pelajaran bagi masyarakat bangsa ini setelah rangkaian perhelatan seminar digelar dan hasilnya ditumpuk-arsipkan.

Asal-usul orang Tolaki dan kalo (dari Negeri Cina)
Gambaran umum masyarakat Tolaki atau Suku Tolaki, merupakan salah satu suku terbesar yang ada di Propinsi Sulawesi Tenggara di samping Suku Buton dan Suku Muna, tersebar di Kab. Kendari dan Kab. Kolaka; yang berada di Kab. Kolaka mendiami daerah Mowewe, Rate-rate dan Lambuya sedangkan yang berada di Kab. Kendari mendiami daerah Asera, Lasolo, Wawotobi, Abuki dan Tinanggea. Orang Tolaki pada mulanya menamakan dirinya Tolohianga (orang dari langit). Menurut Tarimana (1993), mungkin yang dimaksud “langit” adalah “kerajaan langit” sebagaimana dikenal dalam budaya Cina (Granat, dalam Needhan 1973 yang dikutip Tarimana). Dalam dugaannya, ada keterkaitan antara kata “hiu” yang dalam bahasa Cina berarti “langit” dengan kata “heo” (Tolaki) yang berarti “ikut pergi ke langit”.
Sedikit fenomena linguistik itu memang sangat mudah memancing komparasi karakter tektonik arsitektur Tolaki ke Cina, sehingga ada beberapa pihak yang memperban-dingkan bubungan atap lengkung gaya komali dengan kurva atap kelenteng Cina. Namun atap lengkung bukan monopoli Cina. Dari rumah adat Yulong di Vietnam, Minangkabau sampai yang terdekat dengan tempat kediaman orang Tolaki yaitu tongkonan Toraja, kesemuanya memakai atap berbubungan lengkung.
Jadi sebetulnya tak terlalu mudah untuk menghubungkan peradaban Tolaki dengan Cina. Hipotesis tentang hubungan kesejarahan Tolaki-Cina tampaknya masih sangat perlu didukung oleh kajian antropologi linguistik dan sejarah etnografi arsitektural yang lebih memadai. Apalagi jika yang hendak dikaji bukan hanya bentuk tektoniknya saja tetapi pandangan hidup dan kehidupan masyarakat Tolaki. Pertanyaan penting antara lain: dapatkah melacak sejarah mentalitas yang dikandung konsep kalo ke Cina, mengingat unsur konsepsual utama budaya konfusian Cina adalah kesetimbangan dualitas yin-yang dan bukan keselarasan lingkaran kehidupan dalam kesatuan-persatuan sebagaimana kalo? Apapun wacana yang dapat dikembangkan, asal-usul budaya dan peradaban Tolaki tampaknya lebih mudah diterima jika dikaitkan dengan pola migrasi neo-litikum yang lebih umum: bangsa-bangsa Sulawesi bermigrasi dari jalur Asia Tenggara ke Kepulauan Pilipina; sedangkan mereka yang datang dari arah Selatan bisa jadi berasal dari Pulau Jawa lewat Pulau Buton.
Selain asal-usulnya, hal yang juga sukar diketahui dengan pasti adalah masa pemerintahan raja-raja dalam legenda rakyat tentang dua kerajaan besar lokal: Konawe dan Mekongga. Menurut tradisi tutur, raja Sangia Ngginoburu (Konawe) dan raja Sangia Nibandera (Mekongga) diperkirakan memerintah pada saat Islam telah diterima (Tarimana 1993).
pelajaran bagi masyarakat bangsa ini— setelah rangkaian perhelatan seminar digelar dan hasilnya ditumpuk-arsipkan.

Makna “KALO” dalam budaya suku TOLAKI

Perwujudan "KALO", simbol kesatuan-persatuan manusia & alam Suku Tolaki Rumah Komali dengan Titik Pusat Tiang Petumbu Kota Kendari mengelilingi Teluk Kendari. Apakah posisi geografis ini berhubungan dengan konsep "KALO"? Sungguh tak mudah untuk memastikan, meskipun kenyataannya memang geografi Kendari seolah membentuk “KALO”.(Sumber:Rencana Tata Ruang Kota Kendari 1999/2000, Dinas Tata Kota Kendari).
“KALO” dari rotan dengan anyaman bambu dan kain putih (Sumber: Tarimana,1993:208) *KALO: lingkaran konsep dasar *Secara harfiah "Kalo" adalah suatu benda yang berbentuk lingkaran, cara-cara mengikat yang melingkar, dan pertemuan-pertemuan atau kegiatan bersama di mana para pelaku membentuk lingkaran. Kalo dapat dibuat dari rotan, emas, besi, perak, benang, kain putih, akar, daun pandan, bambu dan dari kulit kerbau. Pembuatan kalo pada dasarnya adalah dengan jalan mempertalikan atau mempertemukan kedua ujung dari bahan-bahan tersebut pada suatu simpul. Kalo meliputi /osara/ (adat istiadat) yang berkaitan dengan adat pokok dalam pemerintahan, hubungan kekeluargaan-kemasyarakatan, aktivitas agama- kepercaya-an, pekerjaan-keahlian dan pertanian (Tarimana 1993: 20).
Dari berbagai jenis kalo, yang dikenal luas adalah yang terbuat dari rotan, kain putih dan anyaman. Lingkaran rotan adalah simbol dunia atas, kain putih adalah simbol dunia tengah dan wadah anyaman adalah symbol dunia bawah. Kadang-kadang juga ada yang mengatakan bawah lingkaran rotan itu adalah simbol matahari, bulan dan bintang-bintang; Kain putih adalah langit dan wadah anyaman adalah simbol permukaan bumi. Mereka juga mengekspresikan bahwa lingkaran rotan adalah simbol Sangia Mbu’u Dewa Tertinggi), /Sangia I Losoanooleo/ (Dewa di Timur) dan /Sangia Tepuliano Wanua/ (Dewa penguasa kehidupan di bumi), dan wadah anyaman adalah simbol /Sangia I Puri Wuta/ (Dewa di Dasar Bumi). Kalo juga adalah simbol manusia: lingkaran rotan adalah simbol kepala manusia, kain putih adalah simbol
badan dan wadah anyaman adalah simbol tangan dan kaki (angota).
Demikianlah /kalo/ pada pola pikir dan mentalitas Tolaki menyangkut seluruh aspek kehidupan mereka./ Kalo/ juga merupakan ekspresi konsepsi orang Tolaki mengenai unsur-unsur manusia, alam, masyarakat dan hubungan selaras antarmanusia dan antara manusia dengan unsur-unsur tersebut, termasuk dalam komunitas dan pola permukiman, organisasi kerajaan dan adat dan norma agama yang mengatur tata kehidupan mereka. Akhirnya dapat dikatakan bahwa /kalo/ melambangkan keselarasan dalam kesatuan-persatuan antara segala hal yang bertentangan dan tampak bertentangan dalam alam tempat berhuni manusia Tolaki.
Melihat apa yang dapat disumbangkan konsep /kalo/ tersebut bagi pengembangan filsosofi arsitektur permukiman rakyat, sudah sepantasnya untuk diketahui lanjut dari manakah asal-usul /kalo/. Rumah / anakea/ dari Lambuya dengan bentuk atap lengkung,
merendah di bagian tengah. / /(Sumber: Sarasin dalam Bungalaw, 1994, dikutip Tarimana,
1993)/

Tiang Petumbu sebagai pusat Rumah Komali

Rumah adat Tolaki telah lenyap. Upaya rekonstruksi digalakkan, antara lain lewat Seminar Penelusuran Arsitektur Tradisional Tolaki Fak. Tek. Universitas Haluoleo, Maret 2004 . Dari studi intensif dan keterangan para nara sumber yang ada, beberapa hal dapat disimpulkan (Faslih, 2004). Antara lain, bahwa rumah adat Tolaki dapat berupa komali (rumah istana raja) atau laika (rumah tempat orang tinggal). Namun antara rumah raja dan rumah rakyat, yang membedakan adalah besar dan luasnya saja: rumah raja 40 depa rumah rakyat minimal 3 depa. Rumah hanya salah satu dari beberapa jenis shelter dalam peradaban arsitektur Tolaki, yaitu: tempat berlindung sementara (pineworu), pondok berlantai tanah ditengah ladang (laikawatu), tempat berlindung yang dipindah-pindahkan (payu), dangau (patande) dan lumbung (o ala). Pola tatanan permukiman pun tak lepas dari konsep kalo: konsentrik dengan posisi rumah raja/kepala suku berada di bagian tengah (Tarimana 1993).

Menurut para nara sumber adat dalam hasil studi arsitektural dan etnografi, yang menjadi core element dalam rumah adat Tolaki adalah 9 jajar tiang dengan diperkuat balok melintang (powuatako) dan memanjang (nambea). Dalam jajaran tiang ini terdapat satu tiang utama yang disebut dengan tiang petumbu yang terletak ditengah baris dan lajur ke-9 tiang ini. Tiang petumbu adalah tiang yang pertama kali ditanam dan pemasangannya dilakukan pada waktu subuh (sebelum matahari terbit). Setelah petumbu didirikan, 4 hari atau lebih baru didirikan tiang-tiang lainnya dengan maksud untuk melihat dalam jangka waktu tertentu apakah akan terjadi sesuatu pada tiang petumbu. Jika tidak terjadi sesuatu maka dilakukan pemasangan ke-9 tiang yang lainnya.
Setelah ke-9 tiang berdiri yang pertama dipasang adalah balok powuatako (A) pada sisi dalam tiang arah bagian belakang rumah, selanjutnya balok B dan C. Setelah balok powuatako dipasang selanjutnya pemasangan balok nambea (1) dimulai dari arah kanan rumah, kemudian menyusul nambea 2 dan nambea 3. Semua Powuatako dan nambea, baik yang melintang maupun yang memanjang yang menempel pada tiang dipinggir luar badan bangunan, harus ditempatkan di belakang tiang. Agar setelah dinding dipasang tiang tak akan kelihatan dari luar, karena terhalang oleh dinding.
Rumah Komali berbentuk rumah panggung yang menggunakan tiang-tiang bundar (tusa), tidak menggunakan pondasi seperti halnya rumah-rumah adat yang lain. Tiang ditanam sedalam satu hasta, tiang yang akan ditanam ke dalam tanah sebelumnya dibakar pada bagian selubung (permukaan tiang) hingga menjadi arang, selanjutnya tiang yang dibakar tadi dibungkus dengan ijuk dan diikat persegmen dengan menggunakan rotan. Makna kedalaman satu hasta tidak ada, hanya terkait dengan kemudahan penggalian dan pengang-katan tanah ke permukaan. Tiamh dibakar dan dibung-kus bertujuan agar permukaan selubung tiang menjadi arang agar tiang tidak mudah dimakan rayap dan agar arang tersebut tetap melekat pada selubung tiang.
Tinggi tiang dari permukaan tanah hingga ke permukaan lantai diperkirakan kerbau bisa masuk dibawahnya, kurang lebih 2 m. Jumlah tiang untuk Komali adalah 40 tiang di luar tiang dapur dan tiang teras. Makna dari jumlah 40 tiang ini terkait dengan suatu jumlah yang disaratkan dalam meminang yaitu 40 pinang dan 40 lembar daun sirih. Jadi perwujudan ini diejawantahkan dalam tiang-tiang penopang rumah. Jika dianalisis dari segi fungsi maka jumlah 40 tiang merupakan jumlah tiang yang mewakili satu rumah besar, yang hanya dibangun oleh tokoh tertinggi adat (Mokole).

Hubungan antara balok powuatako, nambe dengan tiang, diikat dengan rotan. Cara mengikat; pertama rotan pengikat diikatkan pada powuatako atau nambea bukan pada tiang. Putaran pertama kali silang ke arah kanan sebanyak 4 putaran selanjutnya pada arah silang kiri sebanyak 3 kali putaran terakhir di tinohe di antara tiang dan powuatako atau nambea. Setelah pemasangan kesembilan tiang ini barulah bisa dilakukan pemasangan tiang-tiang tambahan lainnya sesuai dengan luasan dan kebutuhan yang dikehendaki.
Kesembilan tiang yang merupakan core element dalam rumah adat Tolaki merupakan symbol dari siwolembatohu yaitu delapan penjuru mata angin. Tiang petumbu merupakan pusat dari siwolembatohu. Oleh karena itu, inilah yang menjadi dasar pemikiran mengapa tiang petumbulah yang pertama kali dibangun bahkan dalam pemasangannya diikuti oleh upacara ritual dan pada bagian puncaknya diberi ramuan guna memohon kepada Tuhan agar seisi rumah yang menempati rumah ini dapat terhindar dari berbagai bahaya yang datang dari delapan penjuru mata angin.

Tarian Lulo

Tarian Malulo atau Lulo (dari Bahasa Tolaki: Molulo), merupakan salah satu jenis kesenian tari tradisional dari daerah Sulawesi Tenggara, Indonesia. Di Kendari (Sulawesi Tenggara – Indonesia) terdapat beberapa suku. Suku Tolaki sebagai salah satu suku yang berada di daerah ini memiliki beberapa tarian tradisional , salah satu tarian tradisional yang masih sering dilaksanakan hingga saat ini adalah tarian persahabatan yang disebut tarian Lulo.
Pada zaman dulu, tarian ini dilakukan pada upacara-upacara adat seperti : pernikahan, pesta panen raya dan upacara pelantikan raja, yang diiringi oleh alat musik pukul yaitu gong. Tarian ini dilakukan oleh pria, wanita, remaja, dan anak-anak yang saling berpegangan tangan, menari mengikuti irama gong sambil membentuk sebuah lingkaran. Gong yang digunakan biasanya terdiri dari 2 macam yang berbeda ukuran dan jenis suara. Saat sekarang utamanaya di daerah perkotaan , gong sebagai alat musik pengiring tarian lulo telah digantikan dengan alat musik modern yaitu “Electone”.

Filosofi tarian

Adapun filosofi tarian “lulo” adalah persahabatan, yang biasa ditujukan kepada muda-mudi suku Tolaki sebagai ajang perkenalan, mencari jodoh, dan mempererat tali persaudaraan. Tarian ini dilakukan dengan posisi saling bergandengan tangan dan membentuk sebuah lingkaran. Peserta tarian ini tidak dibatasi oleh usia maupun golongan, siapa saja boleh turut serta dalam tarian lulo, kaya miskin, tua, muda boleh bahkan jika anda bukan suku Tolaki atau dari negara lain bisa bergabung dalam tarian ini, yang penting adalah bisa mengikuti gerakan tarian ini. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah posisi tangan saat bergandengan tangan, untuk pria posisi telapak tangan di bawah menopang tangan wanita. Posisi tangan ini merupakan simbolisasi dari kedudukan, peran, etika pria dan wanita dalam kehidupan.
Yang terpenting dari semua itu adalah arti dari tarian Lulo sendiri, yang mencerminkan bahwa masyarakat Tolaki adalah masyarakat yang cinta damai dan mengutamakan persahabatan dan persatuan dalam menjalani kehidupannya. Seperti filosofi masyarakat Tolaki yang diungkapkan dalam bentuk pepatah samaturu, medulu ronga mepokoaso, yang berarti masyarakat Tolaki dalam menjalani perannya masing-masing selalu bersatu, bekerja sama, saling tolong–menolong dan bantu-membantu. Tetapi saat ini tarian lulo telah mengalami proses adaptasi terutama dalam hal variasi gerakan dan juga musik yang mengiringinya, jika dahulu masyarakat suku tolaki menggunakan alat musik pukul yang dikenal dengan sebutan “Gong” saat ini telah menggunakan alat musik elektronik yaitu organ tunggal (electone) begitu juga dengan variasi gerakannya, mulai dari lulo dengan gerakan lambat (santai) sampai gerakan yang cepat.

Kesimpulan Penyebab Terjadinya Kemerosotan Penggunaan Bahasa Tolaki dikalangan anak-anak diantaranya adalah :

1. Anak-anak dikota sudah tidak tahu bahasa tolaki.
2. Bahasa tolaki sudah banyak dicampuri dengan kata-kata bahasa Indonesia.
3. kata-kata halus bahasa tolaki sudah jarang dimengerti.
4. Pemuda yang pernah sekolah dikota pulang ke kampung tetap menggunakan bahasa Indonesia.
5 ketika bertemu sesama suku tolaki di luar daerah, sudah malu memakai bahasa tolaki.
tetapi ada satu gejala yang yang akan menjadi penyebab utama kepunahan bahasa tolaki, yaitu : Orang tua dikampung tidak memakai bahasa tolaki dengan anaknya.
Proses kepunahan ini akan melalui tiga tahap :
Tahap I :
orang tua didesa memakai bahasa tolaki antara suami isteri, tetapi memakai bahasa Indonesia dengan anak-anak mereka.
Tahap II :
Orang tua memakai bahasa Indonesia antara suami isteri, dan juga berbahasa Indonesia dengan anak.
Tahap III :
Orang tua hanya memakai bahasa Indonesia di rumah.

(Peta Kebudayaan dan Sumberdaya Alam Sulawesi Tenggara)

Selasa, 23 Februari 2010

Penginderaan Jauh Kelautan

Oleh :

Suharta Amijaya Husen
PascaSarjana UNHAS P0304208006
Pengelolaan Lingkungan Hidup (PLH)
Pengelolaan Laut Dangkal Dan Pantai (PLH/LD)



PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Sumber daya alam laut Indonesia merupakan aset bangsa yang strategis untuk dikembangkan dengan basis kegiatan ekonomi pada pemanfaatan sumber daya alam yang dapat diperbaharui (renewable resources) dan jasa-jasa lingkungan (environmental services). Total wilayah Indonesia adalah 7,7 juta km² dan hanya 1,9 juta km² berupa daratan, sedangkan sisanya 5,8 juta km² adalah wilayah laut territorial. Ditambah dengan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) seluas 2,7 juta km², dan areal ini terletak diwilayah tropis yang dikenal sebagai pusat keanekaragaman hayati, maka sesungguhnya potensi sumber daya laut Indonesia sangatlah besar. Salah satu sumber daya laut yang tersebar luas hampir di seluruh perairan laut Indonesia adalah terumbu karang (Sukarno, 1993).
Sejak jaman dulu manusia sudah memanfaatkan laut sebagai sumber dan media penghidupan, namun akhir-akhir ini sesuai dengan perkembangan jumlah umat manusia yang diiringi dengan meningkatnya kebutuhan, maka kelestarian sumberdaya laut semakin terancam. Laut telah dijadikan sebagai tempat sampah raksasa, perusakan terumbu karang akibat alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, penebangan hutan mangrove, penggunaan pukat harimau, dan masih banyak lagi yang merupakan dampak dari kekejaman manusia terhadap alam.
Ekosistem terumbu karang merupakan salah satu ekosistem yang terdapat di lingkungan perairan yang agak dangkal, seperti paparan benua dan gugusan pulau-pulau di perairan tropis. Ekosistem ini memiliki produktivitas organik yang sangat tinggi, demikian pula dengan keanekaragaman biota yang ada di dalamnya. Hal ini dapat dilihat dari peranan ekosistem terumbu karang tersebut, selain berfungsi sebagai penahan gelombang, terumbu karang juga merupakan nursery ground bagi ikan-ikan yang ada di sekitarnya khusunya ikan karang (Budiharsono, 2003).
Terumbu karang dan obyek bawah permukaan perairan dangkal dapat dikenali dengan menerapkan teknologi penginderaan jauh. Proses analisis didasarkan pada


karakteristik respon obyek yang direkam oleh sensor satelit apabila berinteraksi dengan radiasi elektromagnetik. Respon tersebut dapat digunakan sebagai petunjuk jenis obyek karena setiap obyek memiliki respon yang spesifik terhadap radiasi elektromagnetik, dengan pertimbangkan luas daerah perairan, diperlukan teknologi yang cepat dan efisiean dalam memperoleh informasi tentang suatu kawasan secara menyeluruh, benar dan cepat (Kusumowidagdo, 1999).
B.Rumusan Masalah
Eksploitasi dan degradasi lingkungan laut dangkal telah memperburuk keadaan ekosistem terumbu karang. Hal ini dapat juga dipandang sebagai perlunya analisis sebaran dan kondisi terumbu karang guna mengetahui seberapa besar tingkat kerusakan terumbu karang yang terjadi. Berdasarkan latar belakang permasalahan pada ekosistem terumbu karang yaitu :
1.Perlu dilakukan studi tentang analisis sebaran terumbu karang hidup dan karang rusak
2.Bagaimana mengetahui kondisi sebaran terumbu karang hidup dan karang rusak.
C.Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk :
1.Menganalisis dan menentukan sebaran terumbu karang hidup dan karang rusak melalui Citra Satelit Spot 4 di pulau Pannikiang Kabupaten Barru.
2.Membuat peta sebaran dan kondisi terumbu karang di pulau Pannikiang.
D.Manfaat Penelitian
Hasil dari rencana penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang kondisi terumbu karang di pulau Pannikiang dalam pengambilan kebijakan pengelolaan wilayah pesisir yang berkelanjutan.
E.Batasan Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi di perairan Pulau Pannikiang melalui analisis digital citra Spot 4 untuk mengekstrak dan memetakan informasi tentang sebaran dan kondisi terumbu karang. Metode yang digunakan adalah Metode penerapan Algoritma Lyzenga yang menggunakan kombinasi kanal sinar tampak dan inframerah dari satelit Spot 4. Sebaran Kondisi Penutupan Karang meliputi Sebaran pada kelas Karang, Kelas Makro Alga, Kelas Rataan Pasir, Kelas Lamun, dan Kelas Campuran.

TINJAUAN PUSTAKA
A. Terumbu Karang
Terumbu karang adalah suatu ekosistem di dasar laut yang dibangun oleh biota laut penghasil kapur, khusus jenis-jenis karang batu dan algae berkapur, bersama-sama dengan biota yang hidup di dasar laut lainnya seperti jenis-jenis moluska, crustaseae, echinodermata, polikaeta, porifera dan tunikata serta biota lain yang hidup bebas di perairan sekitarnya termasuk jenis-jenis plankton dan jenis-jenis ikan serta padang lamun yang juga dapat memperlambat gerakan air yang disebabkan oleh arus dan gelombang hingga perairan sekitarnya menjadi tenang (Sukarno, 1993).
Keberadaan terumbu karang sangat sensitif terhadap pengaruh lingkungan baik yang bersifat fisik maupun kimia. Pengaruh itu dapat mengubah komunitas karang dan menghambat perkembangan terumbu karang secara keseluruhan. Kerusakan terumbu karang pada dasarnya dapat disebabkan oleh faktor fisik, biologi dan karena aktivitas manusia (Yuniarti, 2007).
Terumbu karang mempunyai fungsi yang sangat penting sebagai tempat memijah, mencari makan, daerah asuhan bagi biota laut dan sebagai sumber plasma nutfah. Terumbu karang juga merupakan sumber makanan dan bahan baku substansi bioaktif yang berguna dalam farmasi dan kedokteran. Selain itu terumbu karang juga mempunyai fungsi yang tidak kalah pentingnya yaitu sebagai pelindung pantai dari degradasi dan abrasi (Mahmudi, 2003).
Menurut Heu, dkk. (2007) Terumbu karang memiliki fungsi ganda yaitu secara biologi terumbu karang menyediakan nutrien (feeding ground), tempat pemijahan (spawing ground), tempat pengasuhan (nursery ground) bagi berbagai biota. Dari segi ekologi berfungsi melindungi pantai,dari erosi dan degradasi serta serta memperkecil kekuatan ombak dan badai dan tsunami, penghasil O2 dan mengisap CO2.

B. Faktor Pembatas Kehidupan Terumbu Karang
Banyak terumbu karang yang rusak akibat aktivitas alam dan aktivitas manusia. Ada dua macam aktivitas alam yang dapat menyebabkan rusaknya terumbu karang yang terdiri dari aktivitas fisik dan aktivitas biologi. Aktivitas fisik meliputi: gempa, tsunami, badai, pasut dan suhu, salinitas, ultraviolet, gunung berapi. Sedangkan aktivitas biologi meliputi : predasi, penyakit dan bioerosi. Aktivitas manusia dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung dapat berupa : penambangan karang, bom, cyanide, jangkar kapal, dan wisata. Sedangkan pengaruh tidak langsung berupa : sendimentasi dan pencemaran (Leaflet Dinas Perikanan, 2005 in Heu, 2007).
Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kehidupan terumbu karang diantaranya:
1) Suhu
Terumbu karang pada umumnya ditemukan pada perairan dengan suhu 180 – 360 C, dengan suhu optimum 260 - 280 C (Birkeland, 1997), Suhu terutama membatasi sebaran terumbu karang secara geografis, suhu paling baik untuk pertumbuhan karang berkisar antara 25¬0 dan 280 C. Karang batu masih dapat hidup pada suhu 150 C. . Suhu ekstrim akan mempengaruhi hewan karang, seperti reproduksi, metabolisme dan pengapuran (kalsifikasi). Tetapi menurut Nybakken (1992) terumbu karang dapat mentolelir suhu sampai 36 – 40 0C. Menurut Sukarno (1983), pada daerah tropis suhu rata-rata tahunan perkembangan optimal terumbu karang adalah 25 - 30 0C.
2) Salinitas
Karang hermatipik adalah organisme laut sejati dan tidak dapat bertahan pada salinitas yang menyimpang dari salinitas air laut yang normal yaitu 32 – 35 0/00 (Nybakken, 1992), meskipun pada salinitas ekstrim terumbu karang masih hidup, seperti di Teluk Persia 46 0/00 dan di Laut Hindia Selatan 26 0/00 (Suharsono, 1996).

3) Cahaya
Cahaya diperlukan bagi proses fotosintesa algae simbiotik. Kedalaman penetrasi sinar mempengaruhi kedalaman pertumbuhan karang hermatipik, kebutuhan oksigen untuk respirasi fauna disuatu terumbu karang dapat diatasi dengan adanya algae simbiotik yang disebut zooxanthellae. Oksigen tambahan tersebut dihasilkan dari proses fotosintesa, yaitu proses yang hanya dapat berlangsung apabila ada cahaya matahari.
4) Arus permukaan
Pada umumnya, terumbu karang lebih berkembang pada daerah-daerah yang mengalami gelombang besar. Gelombang-gelombang itu memberikan sumber air yang segar, memberi oksigen dalam air laut dan menghalangi pengendapan pada koloni. Gelombang-gelombang itu juga membawa nutrien dan unsur hara serta plankton yang diperlukan oleh koloni karang (Nybakken, 1992).
5) Sedimentasi
Sedimentasi atau pengendapan mempunyai pengaruh negatif terhadap karang. Kebanyakan karang tidak dapat bertahan dengan adanya endapan yang berat, karena menutupi dan menyumbat struktur pemberian makanannya. Endapan dalam air dapat mengurangi cahaya yang dibutuhkan untuk fotosintesis oleh Zooxantellae dalam jaringan karang (Nybakken, 1992).
C. Kerusakan Terumbu Karang
Secara umum kerusakan yang terjadi pada ekosistem terumbu karang dapat disebabkan oleh dua hal yaitu : faktor alami dan faktor manusia. Kerusakan ekosistem terumbu karang yang diakibatkan oleh faktor alam diantaranya:
Faktor Alami
1) Pemutihan karang (Coral Bleaching).
Pemutihan karang atau Coral Bleaching yaitu pudarnya warna terumbu karang menjadi pucat atau putih. Hal ini terjadi karena karang kehilangan 60-90% dari jumlah zooxanthellae-nya dan zooxanthellae yang masih tersisa dapat kehilangan 50-80% dari pigmen fotosintesisnya (Gylnn, 1996 in Westmacott, 2000). Penyebab pemutihan karang atau coral bleaching yaitu naiknya suhu permukaan laut akibat pemanasan global, selain itu juga pemutihan karang ini dapat dikaitkan juga dengan peristiwa EL Nino (Glynn, 1990 in Westmacott, 2000).
2) Badai (Storm)
Badai, topan, tsunami merupakan sumber ancaman terhadap ekosistem terumbu karang yang cukup besar. Karena kerusakan yang diakibatkan badai cukup besar dan dalam skala yang luas. Kerusakan yang terjadi berupa kerusakan fisik atau struktur terumbu karang hancur dan partikel karang berserakan di tepi pantai, menumpuk dan menggunung (Tulungen, 2002)
3) Predator alami.
Ancaman alami lain yaitu ledakan hewan bintang laut berduri atau Acanthaster Planci. Serangan dari hewan ini bisa mengakibatkan kematian karang keras mencapai 50-90% (Sorokin, 1993). Kematian karang yang terjadi karena Acanthaster Planci memakan polip karang yang dilewatinya, sehingga yang tersisa hanya terumbu. Menurut Tulungen (2002).
Faktor Non Alami
Kerusakan ekosistem terumbu karang yang diakibatkan oleh aktivitas manusia menurut Westmacott (2000) antara lain:
1) Kegiatan perikanan yang merusak, seperti memakai alat peledak, penggunaan jaring insang dan pukat dapat membuat kerusakan fisik yang ektensif bagi terumbu karang dan mengakibatkan tingginya kematian ikan yang belum dewasa (yaitu bibit ikan dewasa di masa mendatang). Penggunaan sianida dan racun lain untuk menangkap ikan akuarium juga berdampak negatif.
2) Pengunaan pesisir untuk perumahan, resort, hotel, industri, pelabuhan dan pembangunan marina seringkali menyebabkan reklamasi daratan dan pengerukan tanah. Ini dapat meningkatkan sedimentasi sehingga mengurangi cahaya dan menutupi karang dan menimbulkan kerusakan fisik langsung bagi terumbu karang.
3) Pengelolaan yang tidak berkelanjutan di daerah aliran sungai yang tidak disesuaikan dan daerah pesisir, termasuk pengurangan lahan hutan, pertanian yang buruk, mengacu kepada pengaliran pestisida, pupuk dan sedimentasi.
4) Eksploitasi yang berlebihan dapat mengakibatkan sejumlah perubahan pada terumbu karang. Penangkapan jenis ikan pemakan alga berlebihan dapat mengakibatkan pertumbuhan alga yang eksesif, pengangkapan yang berlebihan dari jenis ikan berperan amat penting dalam ekosistem terumbu karang mengakibatkan meledaknya populasi jenis yang lain di bagian manapun dari rantai makanan.
5) Pembuangan limbah industri dan rumah tangga meningkatkan tingkat nutrisi dan racun di lingkungan terumbu karang. Limbah yang kaya nutrisi akan menyebabkan alga tumbuh dan mendominasi terumbu sehingga melenyapkan terumbu karang pada akhirnya (Done, 1992; Hughes, 1994 in Westmacott, 2000).
6) Kegiatan kapal dapat berdampak buruk bagi terumbu melalui tumpahan minyak dan pembungan air ballast dari kapal. Kerusakan fisik secara langsung terjadi akibat lemparan jangkar kapal di daerah terumbu karang.
Pertambahan penduduk yang menghuni daerah pesisir, memberikan tekanan yang serius untuk terumbu karang. Rendahnya tingkat pengetahuan dan kesadaran akan pentingnya fungsi terumbu karang, ditambah lagi tidak mudahnya mencari alternative pekerjaan menambah tekanan terhadap terumbu karang semakin tinggi dan kompleks. Cara pemanfaatan yang tradisionalpun, misalnya pemakaian bubu di beberapa tempat karena dipakai dalam jumlah yang banyak telah menyebabkan kerusakan terumbu karang dalam skala yang relatif luas (Mahmudi, 2003).
Terumbu karang dan obyek bawah permukaan perairan dangkal dapat dikenali dengan menerapkan teknologi penginderaan jauh, proses analisa didasarkan pada karakteristik respon vegetasi yang direkam oleh sensor satelit apabila berinterakasi dengan radiasi elektromagnetik. Respon tersebut dapat digunakan sebagai petunjuk jenis obyek karena setiap obyek memiliki respon yang spesifik tehadap radiasi elektromagnetik (Amri, 2005).
D. Penginderaan Jauh
Penginderaan jauh merupakan salah satu terapan ilmu dan teknologi yang digunakan untuk informasi tentang objek dengan jalan mengidentifikasi, mengukur dan menganalisa karakteristik tanpa adanya kontak langsung dengan objek tersebut (JARS, 1993 dalam Marwanto, 2005). Informasi tentang objek, daerah atau fenomena yang diteliti dan didapatkan dari analisa data yang dikumpulkan oleh sensor dari jarak jauh. Sensor ini memperoleh data tentang kenampakan muka bumi melalui energi elektromagnetik yang dipancarkan atau dipantulkan oleh objek (Sudibyo, 1993).
Berbagai hal penginderaan jauh dapat diartikan sebagai suatu proses membaca dengan menggunakan sensor, yang dapat berupa kamera atau peralatan radiometer lain yang dapat ditemukan pada wahana angkasa, seperti balon, pesawat udara, atau satelit. Menurut Hidayat (2005), bahwa penginderaan jauh dapat dikelompokan menjadi dua bagian yaitu :
1. Penginderaan Jauh pasif, yaitu penginderaan jauh yang merekam pantulan atau pancaran radiasi elektromagnetik dari suatu objek yang biasanya bersumber dari sinar matahari.
2. Penginderaan jauh aktif, yaitu perekaman dengan menggunakan sumber tenaga seperti sistem RADAR dan LIDAR (Laser) untuk mengambil data dalam bentuk gambar. Inderaja aktif menggunakan satelit yang kemudian akan dipancarkan dalam bentuk sinyal analog ke stasiun bumi yang kemudian direkam, setelah itu dikirim kefasilitas pengolahan data.
Secara umum proses penginderaan jauh yang meliputi dua proses utama yaitu pengumpulan data dan analisis data. Proses pengumpulan data meliputi :
a. Pancaran sumber energi
b. Perjalanan energi melalui atmosfer
c. Interaksi antara energi dan obyek di muka bumi
d. Wahana dapat berupa pesawat atau satelit
e. Hasil data dalam bentuk piktorial atau numerik.
Proses analisis data meliputi :
f. Pengujian data dengan menggunakan alat interpretasi dan alat pengamatan untuk menganalisis data piktorial dan komputer untuk menganalisis data sensor numerik
g. Informasi dapat berupa laporan atau dalam bentuk tabel dan peta.
h. Informasi tersebut diperuntukkan untuk pengguna yang memanfaatkan untuk proses pengambilan keputusan (Lillesand and Kiefer, 1990) .
Menurut (Lillesan and Kiefer) Pengolahan citra secara garis besar dibedakan menjadi 2 tahap, yaitu perbaikan citra dan penyadapan informasi. Kedua tahap ini dalam sistem analisa citra diuraikan menjadi 4 kategori kegiatan yakni :
1. Preprocessing (Pemprosesan Awal)
2. Image Enhancement (Penajaman Citra)
3. Transformasi
4. Klasifikasi dan Analisis
E. Citra Satelit SPOT 4
Spot 4 (systeme Pour l’Observation de la Terre) adalah seri dari satelit pengamatan bumi yang didesain dan diluncurkan oleh CNES (Centre National d’Etudes Spatiales) dari Perancis. Sensor satelit ini terletak pada ketinggian 830 km diatas bumi, dengan waktu kunjung 26 hari. Satelit Spot 4 memiliki sistem pencitraan ganda high resolution visible (HRV), masing-masing HRV dapat mengindera saluran tunggal resolusi spasial tinggi panchromatic (PLA) maupun resolusi spasial yang lebih rendah pada tiga saluran yang disebut model multipectral (MILA). PLA memiliki resolusi 10 m, sedangkan MILA 30 m. Spot 4 dengan resolusi pixel 10 x 10 meter dengan 3 band (model multi spektral). Spot 4 dengan tiga band yang mencakup liputan spektral :
Band 1: 0.50 ~ 0.59 (Mm)
Band 2: 0.61 ~ 0.68 (Mm)
Band 3: 0.79 ~ 0.89 (Mm)
Kegiatan melakukan kajian tingkat akurasi dari sensor Spot 4 untuk proses ekstraksi secara digital garis batas wilayah air dan darat (garis sungai atau garis pantai), dimana pada kegiatan ini dilakukan pembuatan data fusi (citra MS dan Pan) dan pengkajian tingkat akurasi dan error dari hasil yang diperoleh dengan menggunakan citra IKONOS. Citra Satelit Spot 4 meliputi sebagian Delta Warna merah mengindikasikan tutupan vegetasi (Sabins, 1978).
a. Resolusi Spektral
Resolusi spektral merupakan interval panjang gelombang khusus pada spektrum elektromagnetik yang direkam oleh sensor. Semakin sempit lebar interval spektrum elektromagnetik, resolusi spectral akan menjadi semakin tinggi. Contoh Spot 4 pankromatik band 3 mempunyai lebar interval 0.51-073 m. sedangkan TM3 mempunyai lebar interval 0.63 – 0.69 m, sehingga resolusi spektral Spot 4 lebih tinggi dari TM3.
b. Resolusi Spasial
Resolusi spasial adalah ukuran terkecil dari objek yang dapat dibedakan oleh sensor atau ukuran daerah yang dapat disajikan oleh setiap piksel. Objek yang mempunyai ukuran lebih kecil dari ukuran piksel dapat dideteksi apabila mempunyai nilai kontras dengan sekitarnya, seperti jalan.
c. Resolusi Radiometrik
Resolusi Radiometrik ditunjukkan oleh jumlah nilai data yang dimungkinkan pada setiap band. Hal ini ditunjukkan dengan jumlah bit perekam.
d. Resolusi Temporal
Resolusi temporal ditunjukkan dengan seringnya citra merekam suatu daerah yang sama dan sensor satelit Spot 4 ini terletak pada ketinggian 830 km diatas bumi, dengan waktu kunjung 26 hari.
F. Pengembangan Algoritma Pemetaan Perairan Dangkal
Pendekatan yang dilakukan untuk mendapatkan algoritma yang sesuai diilhami dari algoritma yang berkembang oleh Lyzenga, (1981) yaitu “Exponential Attenuation Model” dengan asumsi bahwa proses dibuat pada satu kedalaman yang sama dengan tiap pasang band (Xi dan Xj). Ada dua anggapan untuk mendukung algoritma ini yaitu anggapan pertama bahwa hubungan antara pantulan dan exponential attenuation dengan kedalaman adalah linear (Xi = Ln (Ri) dan anggapan kedua bahwa rasio koefisien attenuation (ki/kj) adalah determinasi dari transformasi bi plot pantulan dari dua saluran (Xi dan Xj).
Kerangka Pikir
Kawasan terumbu karang merupakan rumah bagi organisme dan tumbuhan yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi, berbagai jenis hewan laut mencari makan dan berlindung di ekosistem tersebut. Degradasi atau kerusakan terumbu karang terjadi karena beberapa faktor yang diantaranya aktivitas masyarakat seperti pelayaran dan penangkapan yang tidak ramah lingkungan. Identifikasi Perairan dangkal dengan menggunakan data penginderaan jauh khususnya pemanfaatan citra satelit telah banyak digunakan dan diteliti sebagai suatu alat pengumpulan informasi sumber daya alam khusunya identifikasi kondisi terumbu karang. Peta citra merupakan citra yang telah bereferensi geografis sehingga dapat dianggap sebagai peta. Informasi spasial yang disajikan dalam peta citra merupakan data raster yang bersumber dari hasil perekaman citra satelit sumber alam khusunya ekosistem terumbu karang secara kontinu. Peta citra memberikan semua informasi yang terekam pada bumi tanpa adanya generalisasi. Peranan peta citra (space map) dimasa mendatang akan menjadi penting sebagai upaya untuk mempercepat ketersediaan dan penentuan kebutuhan peta dasar yang memang belum dapat meliput seluruh wilayah nasional pada skala global dengan informasi terbaru (up to date). Peta citra mempunyai keunggulan informasi terhadap peta biasa. Hal ini disebabkan karena citra merupakan gambaran nyata di permukaan bumi, sedangkan peta biasa dibuat berdasarkan generalisasi dan seleksi bentang alam ataupun buatan manusia.
Mengingat luasnya terumbu karang maka perlu suatu teknik yang efisien dan ekonomis untuk mendapatkan informasi tersebut. Berdasarkan identifikasi komunitas terumbu karang di Indonesia tercatat seluas lebih dari 20.000 km2, yang meliputi karang hidup, karang mati, lamun, dan pasir (COREMAP, 2001). Mengetahui kekayaan sumber daya ini, maka perlu suatu bentuk pelestarian yang benar-benar cocok melalui pemahaman karakteristik dan kondisi lingkungannya. Untuk itu perlu diciptakan data base informasi spasial karakteristik terumbu karang dan kondisi lingkungannya.

METODOLOGI PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Pebruari sampai bulan April Tahun 2010 yang meliputi studi literatur, pengolahan data, pengamatan lapangan, serta penyusunan laporan hasil akhir. Dan lokasi penelitian dilakukan di perairan laut dangkal Pulau Pannikiang Desa Madello Kecamatan Takalassi Kabupaten Barru.
B. Alat dan Bahan
b.a. Alat
Alat pendukung survei lapangan yaitu GPS untuk menetukan posisi titik pengamatan. Alat selam dasar untuk pengamatan objek dasar perairan. Kamera underwater untuk merekam dan memotret objek dalam air. Perahu motor untuk menjangkau posisi titik pengamatan.
Alat pengolahan secara digital yaitu laptop/komputer sebagai perangkat keras untuk mengolah data, printer untuk mencetak hasil pengolahan data, software arcview 3.3, software ERMapper 7.0, MS Word, MS Excel, untuk perangkat lunak pengolahan data.
b.b. Bahan
Data yang digunakan berupa data primer dan data sekunder. Data satelit yang digunakan berasal dari hasil perekaman satelit Spot 4 Akuisisi pada bulan 08 Agustus 2006 di Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. Data yang diperoleh dari instansi Pemerintah Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL) bidang survei sumberdaya alam laut.
C. Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan analisis penginderaan jauh dengan metode Formulasi Lyzenga yaitu untuk dapat mengatahui dan menghitung sebaran dari terumbu karang hidup dan mati yang dibagi dalam tiga tahap yaitu Pengolahan citra awal, survey lapangan dan pengadaan data sekunder serta pengolahan lanjutan.
Citra Spot 4 multitemporal untuk analisis sebaran dan kondisi di pulau Pannikiang. Pengolahan dimulai dengan koreksi geometrik dan pemotongan citra. Klasifikasi dilakukan setelah transformasi citra dengan algorithma Lyzenga. Citra hasil klasifikasi diuji dengan menggunakan data hasil pengamatan lapangan dan diklasifikasi kembali dengan acuan citra komposit band 123.
Tahap-tahap kegiatan penelitian ini dilakukan secara keseluruhan yang meliputi sebagai berikut :
c.a. Persiapan
Tahap ini meliputi studi literatur, penyiapan data digital citra Spot 4, penyiapan peta rupa bumi yang meliputi daerah penelitian, penyiapan peta digital, penyiapan alat-alat yang akan digunakan selama kegiatan penelitian, observasi lapangan, dan pengumpulan data sekunder lainnya.
c.b. Pengolahan dan analisis citra/data
Tahap ini merupakan bagian yang penting dalam penelitian. Kegiatan ini mencakup kerja dengan uraian tahapan sebagai berikut:
c.b.a. Impor Data Citra.
Data citra Spot 4 yang masih dalam format file GeoTIF, di konversi ke format file raster (ers) dan format file vektor erv untuk software Er-Mapper (ers).
c.b.b. Penajaman Citra (Enhancement)
Penajaman citra merupakan langkah yang dilakukan sebelum interpretasi data secara aktual. Hal ini bertujuan untuk menguatkan penampakan kontras yang terjadi pada citra, sehingga dapat meningkatkan jumlah informasi yang dapat di interprestasikan secara manual pada citra. Metode penajaman yang digunakan adalah perentangan kontras, metode ini akan memperbaiki nilai kecerahan hingga didapatkan citra dengan range 0 – 255 secara liner.
c.b.c. Pemotongan Citra (cropping)
Pemotongan citra dilakukan untuk memfokuskan penelitian pada daerah kajian dan obyek pada masing-masing citra komposit warna semu dan masing-masing saluran spektral.
c.b.d. Pemisahan Obyek Daratan dan Perairan
Pemisahan obyek daratan dan perairan dimaksudkan agar nilai spektral yang digunakan dalam proses klasifikasi tidak dipengaruhi oleh nilai spektral dari daratan. Untuk memisahkan daratan dan perairan maka akan ditentukan batas nilai pixel daratan dan perairan (nilai landmarks). Nilai diatas ambang batas (nilai landmarks) tersebut akan dianggap nol atau tidak ada hingga yang akan muncul adalah nilai dibawah ambang batas. Nilai ambang batas tersebut akan digunakan dalam proses pengolahan citra pada tahap analisis formula Lyzenga.
c.b.e. Analisis Citra dengan Tranformasi Lyzenga
Transformasi citra menggunakan koefisien attenuasi data Spot 4 pada band 4 yang mampu menembus kolom air hingga kedalam tertentu dan dikombinasikan secara logaritma natural dan menghasilkan kanal baru, metode ini dikembangkan berdasarkan persamaan Lyzenga (1981), yaitu Model Pengurangan Eksponensial (Eksponential Attenuation Model).
Adapun persamaan Lyzenga adalah sebagai berikut:
Riz = Ri ~ +(0,54 Rio – Ri ) exp -2kiz
Dimana:
Ri = Pantulan gelombang dari laut dangkal kanal 1
Ri~ = Pantulan gelombang dari laut dalam pada kanal 2
Rio = Pantulan dasar perairan (0 meter)
z = Kedalaman perairan (m)
Ki/Kj = Koefisien atenuasi air pada λi
Persamaan tersebut kemudian diturunkan dengan menggunakan dua kanal sinar tampak pada panjang gelombang yang ada pada Spot 4 sehingga diperoleh persamaan (Lyzenga,1981), sebagai berikut:
Y = Ln(TM1) + ki/kj.Ln(TM2)
Dimana:
Y = Ekstraksi informasi dasar
TM1 = Kanal 1
TM2 = Kanal 2
Ln = Linear
Ki/kj = Koefisien attenuasi
Perhitungan Nilai ki/kj adalah :
ki/kj = a + (a2 + 1)1/2
Dimana :
a = (Var1-Var2)/(2(Covar1,2)
c.b.f. Klasifikasi Multi Spektral
Klasifikasi multi spektral dilakukan untuk mendapatkan gambar atau peta tematik, yakni suatu gambar yang terdiri dari bagian-bagian yang telah dikelompokkan kedalam kelas-kelas region tertentu yang merepresentasikan suatu kelompok obyek yang sama. Metode klasifikasi yang dilakukan adalah klasifikasi unsupervised (tidak terawasi). Klasifikasi ini akan mengklarifikasi areal yang spesifik dan bisa diamati secara visual pada citra yang akan bekerja sendiri dan membuat cluster sendiri yang dikelaskan berdasarkan homogenitas pantulan spektral.



c.c. Survei Lapangan
Survei lapangan dilakukan untuk membandingkan hasil analisa citra dengan kondisi sebenarnya dilapangan. Lokasi pengambilan data lapangan dilakukan di Perairan dangkal Pulau Pannikiang Desa Madello Kecamatan Takkalasi Kabupaten Barru. Penentuan stasiun pengamatan berdasarkan jenis objek penutup dasar perairan laut dangkal yang berbeda dan berdasarkan hasil klasifikasi (Unsupervised Clasification) dari citra Spot 4. Dari hasil analisis citra maka akan mendapatkan titik pengambilan sampel yang berdasarkan tingkat kehomogenan warna yang dianggap paling mewakili.
Penentuan jumlah titik pengamatan mempertimbangkan variabilitas tutupan karang dan lamun jenis obyek penutup dasar perairan dangkal dan hasil klasifikasi tidak terawasi (Unsupervised Clasification). Jumlah titik sampel ditentukan secara representatif berdasarkan objek penutup dasar perairan. Penentuan titik sampel juga mempertimbangkan aspek kondisi alamiah seperti kedalaman perairan dan rataan terumbu. Penentuan titik pengamatan berdasarkan tampilan warna citra yang telah diolah dengan Algorithma Lyzenga lalu mengamati dan mencatat serta merekam jenis obyek penutup dasar perairan. Penyelaman dilakukan untuk titik pengamatan pada ekosistem terumbu karang dan pengambilan titik koordinat pada satiap objek penutup dasar perairan yang berbeda. Hal ini dilakukan secara berulang pada lokasi lain yang menunjukan visualisasi warna yang berbeda pada citra.
Memasukkan titik-titik pada citra Spot 4 ke GPS yang dijadikan sebagai penuntun utama dilapangan untuk menemukan lokasi titik pengamatan. Kegiatan selanjutnya melakukan pendataan karang, lamun, makro alga dan pasir pada stasiun yang telah ditentukan sebelumnya. Pengamatan objek penutup dasar perairan (karang, lamun, makro alga dan pasir) secara kuantitatif dilakukan dengan metode sampling cepat. (quick sampling) dengan mengikuti standar estimasi penutupan karang dan lamun. Penelitian dilakukan dengan menjelajahi daerah sekitar stasiun pengamatan dengan snorkling dan penyelaman serta jenis objek yang ditemukan kemudian dicatat pada papan sabak.
c.d. Uji Ketelitian
Uji ketelitian dengan meginterpretasi visual dari citra warna komposit yang digunakan untuk menghasilkan data informasi klasifikasi tentang masing-masing titik sampel. Penggunaan lahan kategori titik-titik ini juga dapat ditentukan oleh interpretasi dari hasil klasifikasi citra. Matriks yang mengandung kesalahan merujuk pada kasus-kasus di mana definisi diterapkan dalam algorithim pada kategori yang tidak ada dalam hasil klasifikasi di lapangan. Yang disebut dengan uji ketelitian menunjukkan bahwa kemungkinan gambar citra pada warna pixel klasifikasi pemetaan benar-benar mewakili kategori kenampakan objek di lapangan pada hasil pengolahan Lyzenga. Istilah tersebut dapat dinyatakan sebagai berikut :
Ketelitian Pengguna (%) = 100% - error of commission (%).
Hasil Ketelitian Produser (%) = 100 - error of ommission (%).
Akurasi peta keseluruhan dihitung dengan membagi jumlah entri yang membentuk diagonal utama dengan total jumlah sampel yang diambil. (Baja 2002).
c.e. Pengolahan Akhir
Pengolahan ini meliputi pengecekan hasil klasifikasi Unsupervised dengan data lapangan yang diperoleh. Pada tahap ini dilakukan observasi di lapangan dengan membandingkan hasil dari klasifikasi citra dan kondisi susungguhnya di lapangan. Pengolahan akhir dilakukan penentuan hasil analisis sebaran dan kondisi terumbu karang berdasarkan arah mata angin di perairan dangkal Pulau Pannikiang Desa Madello Kecamatan Takkalasi Kabupaten Barru.
c.f. Analisis Data
a. Menghitung Penutupan setiap Kategori Tutupan Dasar Perairan Dangkal.
Analisis penutupan dasar perairan dangkal dilakukan berdasarkan analisis citra yang sesuai dengan hasil pengecekan lapangan. Data tersebut disajikan dalam satuan luasan (Ha) dan dihitung persentase tutupan untuk masing-masing kategori yang disajikan dalam bentuk table dan dianalisis secara deskriptif.
b. Estimasi Kondisi Terumbu Karang.
Estimasi kondisi terumbu karang dilakukan dengan cara menghitung luasan area yang ditutupi oleh karang hidup di perairan dangkal berdasarkan hasil analisis citra dan pengecekan lapangan. Untuk lebih detailnya maka pemisaan pulau akan dibagi menjadi 6 lokasi berdasarkan arah mata angin yang di antaranya Utara, Barat Laut, Barat Daya, Selatan, Tenggara dan Timur Laut (Gambar 7). Disetiap sisi Pulau akan diestimasi luasan terumbu karang, luasan penutupan karang hidup dan karang mati. Berdasarkan luasan total terumbu karang dan luasan penutupan karang hidup maka dapat dihitung persentase penutupan karang hidup untuk area yang diestimasi. Data-data tersebut disajikan dalam bentuk table dan dianalisis secara deskriptif


Tabel 2. Standar Penilaian Kualitas kondisi Terumbu karang berdasarkan persentase kriteria baku kerusakan terumbu karang. Sumber (KEPMEN Lingkungan Hidup, 2001).
Parameter Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang (dalam %)
Prosentase Luas Tutupan
Terumbu Karang yang Hidup
Rusak Buruk 0 - 24,9
Sedang 25 - 49,9

Baik Baik 50 - 74,9
Baik sekali 75 - 100


c.g. Penyusunan Laporan Akhir
Tahap akhir dari seluruh rangkaian penelitian ini adalah penyusunan Tesis sebagai laporan akhir berdasarkan hasil pengumpulan data-data sekunder dan pengumpulan data-data primer di lapangan, hasil analisis sampel serta hasil/pengolahan data yang dijelaskan dan dibahas serta dijabarkan secara deskriptif dalam bentuk tabel, grafik dan peta hasil pengolahan citra dari awal sampai akhir (Peta sebaran dan Kondisi ekosistem terumbu karang).