Lembar

Selasa, 23 Februari 2010

Penginderaan Jauh Kelautan

Oleh :

Suharta Amijaya Husen
PascaSarjana UNHAS P0304208006
Pengelolaan Lingkungan Hidup (PLH)
Pengelolaan Laut Dangkal Dan Pantai (PLH/LD)



PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Sumber daya alam laut Indonesia merupakan aset bangsa yang strategis untuk dikembangkan dengan basis kegiatan ekonomi pada pemanfaatan sumber daya alam yang dapat diperbaharui (renewable resources) dan jasa-jasa lingkungan (environmental services). Total wilayah Indonesia adalah 7,7 juta km² dan hanya 1,9 juta km² berupa daratan, sedangkan sisanya 5,8 juta km² adalah wilayah laut territorial. Ditambah dengan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) seluas 2,7 juta km², dan areal ini terletak diwilayah tropis yang dikenal sebagai pusat keanekaragaman hayati, maka sesungguhnya potensi sumber daya laut Indonesia sangatlah besar. Salah satu sumber daya laut yang tersebar luas hampir di seluruh perairan laut Indonesia adalah terumbu karang (Sukarno, 1993).
Sejak jaman dulu manusia sudah memanfaatkan laut sebagai sumber dan media penghidupan, namun akhir-akhir ini sesuai dengan perkembangan jumlah umat manusia yang diiringi dengan meningkatnya kebutuhan, maka kelestarian sumberdaya laut semakin terancam. Laut telah dijadikan sebagai tempat sampah raksasa, perusakan terumbu karang akibat alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, penebangan hutan mangrove, penggunaan pukat harimau, dan masih banyak lagi yang merupakan dampak dari kekejaman manusia terhadap alam.
Ekosistem terumbu karang merupakan salah satu ekosistem yang terdapat di lingkungan perairan yang agak dangkal, seperti paparan benua dan gugusan pulau-pulau di perairan tropis. Ekosistem ini memiliki produktivitas organik yang sangat tinggi, demikian pula dengan keanekaragaman biota yang ada di dalamnya. Hal ini dapat dilihat dari peranan ekosistem terumbu karang tersebut, selain berfungsi sebagai penahan gelombang, terumbu karang juga merupakan nursery ground bagi ikan-ikan yang ada di sekitarnya khusunya ikan karang (Budiharsono, 2003).
Terumbu karang dan obyek bawah permukaan perairan dangkal dapat dikenali dengan menerapkan teknologi penginderaan jauh. Proses analisis didasarkan pada


karakteristik respon obyek yang direkam oleh sensor satelit apabila berinteraksi dengan radiasi elektromagnetik. Respon tersebut dapat digunakan sebagai petunjuk jenis obyek karena setiap obyek memiliki respon yang spesifik terhadap radiasi elektromagnetik, dengan pertimbangkan luas daerah perairan, diperlukan teknologi yang cepat dan efisiean dalam memperoleh informasi tentang suatu kawasan secara menyeluruh, benar dan cepat (Kusumowidagdo, 1999).
B.Rumusan Masalah
Eksploitasi dan degradasi lingkungan laut dangkal telah memperburuk keadaan ekosistem terumbu karang. Hal ini dapat juga dipandang sebagai perlunya analisis sebaran dan kondisi terumbu karang guna mengetahui seberapa besar tingkat kerusakan terumbu karang yang terjadi. Berdasarkan latar belakang permasalahan pada ekosistem terumbu karang yaitu :
1.Perlu dilakukan studi tentang analisis sebaran terumbu karang hidup dan karang rusak
2.Bagaimana mengetahui kondisi sebaran terumbu karang hidup dan karang rusak.
C.Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk :
1.Menganalisis dan menentukan sebaran terumbu karang hidup dan karang rusak melalui Citra Satelit Spot 4 di pulau Pannikiang Kabupaten Barru.
2.Membuat peta sebaran dan kondisi terumbu karang di pulau Pannikiang.
D.Manfaat Penelitian
Hasil dari rencana penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang kondisi terumbu karang di pulau Pannikiang dalam pengambilan kebijakan pengelolaan wilayah pesisir yang berkelanjutan.
E.Batasan Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi di perairan Pulau Pannikiang melalui analisis digital citra Spot 4 untuk mengekstrak dan memetakan informasi tentang sebaran dan kondisi terumbu karang. Metode yang digunakan adalah Metode penerapan Algoritma Lyzenga yang menggunakan kombinasi kanal sinar tampak dan inframerah dari satelit Spot 4. Sebaran Kondisi Penutupan Karang meliputi Sebaran pada kelas Karang, Kelas Makro Alga, Kelas Rataan Pasir, Kelas Lamun, dan Kelas Campuran.

TINJAUAN PUSTAKA
A. Terumbu Karang
Terumbu karang adalah suatu ekosistem di dasar laut yang dibangun oleh biota laut penghasil kapur, khusus jenis-jenis karang batu dan algae berkapur, bersama-sama dengan biota yang hidup di dasar laut lainnya seperti jenis-jenis moluska, crustaseae, echinodermata, polikaeta, porifera dan tunikata serta biota lain yang hidup bebas di perairan sekitarnya termasuk jenis-jenis plankton dan jenis-jenis ikan serta padang lamun yang juga dapat memperlambat gerakan air yang disebabkan oleh arus dan gelombang hingga perairan sekitarnya menjadi tenang (Sukarno, 1993).
Keberadaan terumbu karang sangat sensitif terhadap pengaruh lingkungan baik yang bersifat fisik maupun kimia. Pengaruh itu dapat mengubah komunitas karang dan menghambat perkembangan terumbu karang secara keseluruhan. Kerusakan terumbu karang pada dasarnya dapat disebabkan oleh faktor fisik, biologi dan karena aktivitas manusia (Yuniarti, 2007).
Terumbu karang mempunyai fungsi yang sangat penting sebagai tempat memijah, mencari makan, daerah asuhan bagi biota laut dan sebagai sumber plasma nutfah. Terumbu karang juga merupakan sumber makanan dan bahan baku substansi bioaktif yang berguna dalam farmasi dan kedokteran. Selain itu terumbu karang juga mempunyai fungsi yang tidak kalah pentingnya yaitu sebagai pelindung pantai dari degradasi dan abrasi (Mahmudi, 2003).
Menurut Heu, dkk. (2007) Terumbu karang memiliki fungsi ganda yaitu secara biologi terumbu karang menyediakan nutrien (feeding ground), tempat pemijahan (spawing ground), tempat pengasuhan (nursery ground) bagi berbagai biota. Dari segi ekologi berfungsi melindungi pantai,dari erosi dan degradasi serta serta memperkecil kekuatan ombak dan badai dan tsunami, penghasil O2 dan mengisap CO2.

B. Faktor Pembatas Kehidupan Terumbu Karang
Banyak terumbu karang yang rusak akibat aktivitas alam dan aktivitas manusia. Ada dua macam aktivitas alam yang dapat menyebabkan rusaknya terumbu karang yang terdiri dari aktivitas fisik dan aktivitas biologi. Aktivitas fisik meliputi: gempa, tsunami, badai, pasut dan suhu, salinitas, ultraviolet, gunung berapi. Sedangkan aktivitas biologi meliputi : predasi, penyakit dan bioerosi. Aktivitas manusia dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung dapat berupa : penambangan karang, bom, cyanide, jangkar kapal, dan wisata. Sedangkan pengaruh tidak langsung berupa : sendimentasi dan pencemaran (Leaflet Dinas Perikanan, 2005 in Heu, 2007).
Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kehidupan terumbu karang diantaranya:
1) Suhu
Terumbu karang pada umumnya ditemukan pada perairan dengan suhu 180 – 360 C, dengan suhu optimum 260 - 280 C (Birkeland, 1997), Suhu terutama membatasi sebaran terumbu karang secara geografis, suhu paling baik untuk pertumbuhan karang berkisar antara 25¬0 dan 280 C. Karang batu masih dapat hidup pada suhu 150 C. . Suhu ekstrim akan mempengaruhi hewan karang, seperti reproduksi, metabolisme dan pengapuran (kalsifikasi). Tetapi menurut Nybakken (1992) terumbu karang dapat mentolelir suhu sampai 36 – 40 0C. Menurut Sukarno (1983), pada daerah tropis suhu rata-rata tahunan perkembangan optimal terumbu karang adalah 25 - 30 0C.
2) Salinitas
Karang hermatipik adalah organisme laut sejati dan tidak dapat bertahan pada salinitas yang menyimpang dari salinitas air laut yang normal yaitu 32 – 35 0/00 (Nybakken, 1992), meskipun pada salinitas ekstrim terumbu karang masih hidup, seperti di Teluk Persia 46 0/00 dan di Laut Hindia Selatan 26 0/00 (Suharsono, 1996).

3) Cahaya
Cahaya diperlukan bagi proses fotosintesa algae simbiotik. Kedalaman penetrasi sinar mempengaruhi kedalaman pertumbuhan karang hermatipik, kebutuhan oksigen untuk respirasi fauna disuatu terumbu karang dapat diatasi dengan adanya algae simbiotik yang disebut zooxanthellae. Oksigen tambahan tersebut dihasilkan dari proses fotosintesa, yaitu proses yang hanya dapat berlangsung apabila ada cahaya matahari.
4) Arus permukaan
Pada umumnya, terumbu karang lebih berkembang pada daerah-daerah yang mengalami gelombang besar. Gelombang-gelombang itu memberikan sumber air yang segar, memberi oksigen dalam air laut dan menghalangi pengendapan pada koloni. Gelombang-gelombang itu juga membawa nutrien dan unsur hara serta plankton yang diperlukan oleh koloni karang (Nybakken, 1992).
5) Sedimentasi
Sedimentasi atau pengendapan mempunyai pengaruh negatif terhadap karang. Kebanyakan karang tidak dapat bertahan dengan adanya endapan yang berat, karena menutupi dan menyumbat struktur pemberian makanannya. Endapan dalam air dapat mengurangi cahaya yang dibutuhkan untuk fotosintesis oleh Zooxantellae dalam jaringan karang (Nybakken, 1992).
C. Kerusakan Terumbu Karang
Secara umum kerusakan yang terjadi pada ekosistem terumbu karang dapat disebabkan oleh dua hal yaitu : faktor alami dan faktor manusia. Kerusakan ekosistem terumbu karang yang diakibatkan oleh faktor alam diantaranya:
Faktor Alami
1) Pemutihan karang (Coral Bleaching).
Pemutihan karang atau Coral Bleaching yaitu pudarnya warna terumbu karang menjadi pucat atau putih. Hal ini terjadi karena karang kehilangan 60-90% dari jumlah zooxanthellae-nya dan zooxanthellae yang masih tersisa dapat kehilangan 50-80% dari pigmen fotosintesisnya (Gylnn, 1996 in Westmacott, 2000). Penyebab pemutihan karang atau coral bleaching yaitu naiknya suhu permukaan laut akibat pemanasan global, selain itu juga pemutihan karang ini dapat dikaitkan juga dengan peristiwa EL Nino (Glynn, 1990 in Westmacott, 2000).
2) Badai (Storm)
Badai, topan, tsunami merupakan sumber ancaman terhadap ekosistem terumbu karang yang cukup besar. Karena kerusakan yang diakibatkan badai cukup besar dan dalam skala yang luas. Kerusakan yang terjadi berupa kerusakan fisik atau struktur terumbu karang hancur dan partikel karang berserakan di tepi pantai, menumpuk dan menggunung (Tulungen, 2002)
3) Predator alami.
Ancaman alami lain yaitu ledakan hewan bintang laut berduri atau Acanthaster Planci. Serangan dari hewan ini bisa mengakibatkan kematian karang keras mencapai 50-90% (Sorokin, 1993). Kematian karang yang terjadi karena Acanthaster Planci memakan polip karang yang dilewatinya, sehingga yang tersisa hanya terumbu. Menurut Tulungen (2002).
Faktor Non Alami
Kerusakan ekosistem terumbu karang yang diakibatkan oleh aktivitas manusia menurut Westmacott (2000) antara lain:
1) Kegiatan perikanan yang merusak, seperti memakai alat peledak, penggunaan jaring insang dan pukat dapat membuat kerusakan fisik yang ektensif bagi terumbu karang dan mengakibatkan tingginya kematian ikan yang belum dewasa (yaitu bibit ikan dewasa di masa mendatang). Penggunaan sianida dan racun lain untuk menangkap ikan akuarium juga berdampak negatif.
2) Pengunaan pesisir untuk perumahan, resort, hotel, industri, pelabuhan dan pembangunan marina seringkali menyebabkan reklamasi daratan dan pengerukan tanah. Ini dapat meningkatkan sedimentasi sehingga mengurangi cahaya dan menutupi karang dan menimbulkan kerusakan fisik langsung bagi terumbu karang.
3) Pengelolaan yang tidak berkelanjutan di daerah aliran sungai yang tidak disesuaikan dan daerah pesisir, termasuk pengurangan lahan hutan, pertanian yang buruk, mengacu kepada pengaliran pestisida, pupuk dan sedimentasi.
4) Eksploitasi yang berlebihan dapat mengakibatkan sejumlah perubahan pada terumbu karang. Penangkapan jenis ikan pemakan alga berlebihan dapat mengakibatkan pertumbuhan alga yang eksesif, pengangkapan yang berlebihan dari jenis ikan berperan amat penting dalam ekosistem terumbu karang mengakibatkan meledaknya populasi jenis yang lain di bagian manapun dari rantai makanan.
5) Pembuangan limbah industri dan rumah tangga meningkatkan tingkat nutrisi dan racun di lingkungan terumbu karang. Limbah yang kaya nutrisi akan menyebabkan alga tumbuh dan mendominasi terumbu sehingga melenyapkan terumbu karang pada akhirnya (Done, 1992; Hughes, 1994 in Westmacott, 2000).
6) Kegiatan kapal dapat berdampak buruk bagi terumbu melalui tumpahan minyak dan pembungan air ballast dari kapal. Kerusakan fisik secara langsung terjadi akibat lemparan jangkar kapal di daerah terumbu karang.
Pertambahan penduduk yang menghuni daerah pesisir, memberikan tekanan yang serius untuk terumbu karang. Rendahnya tingkat pengetahuan dan kesadaran akan pentingnya fungsi terumbu karang, ditambah lagi tidak mudahnya mencari alternative pekerjaan menambah tekanan terhadap terumbu karang semakin tinggi dan kompleks. Cara pemanfaatan yang tradisionalpun, misalnya pemakaian bubu di beberapa tempat karena dipakai dalam jumlah yang banyak telah menyebabkan kerusakan terumbu karang dalam skala yang relatif luas (Mahmudi, 2003).
Terumbu karang dan obyek bawah permukaan perairan dangkal dapat dikenali dengan menerapkan teknologi penginderaan jauh, proses analisa didasarkan pada karakteristik respon vegetasi yang direkam oleh sensor satelit apabila berinterakasi dengan radiasi elektromagnetik. Respon tersebut dapat digunakan sebagai petunjuk jenis obyek karena setiap obyek memiliki respon yang spesifik tehadap radiasi elektromagnetik (Amri, 2005).
D. Penginderaan Jauh
Penginderaan jauh merupakan salah satu terapan ilmu dan teknologi yang digunakan untuk informasi tentang objek dengan jalan mengidentifikasi, mengukur dan menganalisa karakteristik tanpa adanya kontak langsung dengan objek tersebut (JARS, 1993 dalam Marwanto, 2005). Informasi tentang objek, daerah atau fenomena yang diteliti dan didapatkan dari analisa data yang dikumpulkan oleh sensor dari jarak jauh. Sensor ini memperoleh data tentang kenampakan muka bumi melalui energi elektromagnetik yang dipancarkan atau dipantulkan oleh objek (Sudibyo, 1993).
Berbagai hal penginderaan jauh dapat diartikan sebagai suatu proses membaca dengan menggunakan sensor, yang dapat berupa kamera atau peralatan radiometer lain yang dapat ditemukan pada wahana angkasa, seperti balon, pesawat udara, atau satelit. Menurut Hidayat (2005), bahwa penginderaan jauh dapat dikelompokan menjadi dua bagian yaitu :
1. Penginderaan Jauh pasif, yaitu penginderaan jauh yang merekam pantulan atau pancaran radiasi elektromagnetik dari suatu objek yang biasanya bersumber dari sinar matahari.
2. Penginderaan jauh aktif, yaitu perekaman dengan menggunakan sumber tenaga seperti sistem RADAR dan LIDAR (Laser) untuk mengambil data dalam bentuk gambar. Inderaja aktif menggunakan satelit yang kemudian akan dipancarkan dalam bentuk sinyal analog ke stasiun bumi yang kemudian direkam, setelah itu dikirim kefasilitas pengolahan data.
Secara umum proses penginderaan jauh yang meliputi dua proses utama yaitu pengumpulan data dan analisis data. Proses pengumpulan data meliputi :
a. Pancaran sumber energi
b. Perjalanan energi melalui atmosfer
c. Interaksi antara energi dan obyek di muka bumi
d. Wahana dapat berupa pesawat atau satelit
e. Hasil data dalam bentuk piktorial atau numerik.
Proses analisis data meliputi :
f. Pengujian data dengan menggunakan alat interpretasi dan alat pengamatan untuk menganalisis data piktorial dan komputer untuk menganalisis data sensor numerik
g. Informasi dapat berupa laporan atau dalam bentuk tabel dan peta.
h. Informasi tersebut diperuntukkan untuk pengguna yang memanfaatkan untuk proses pengambilan keputusan (Lillesand and Kiefer, 1990) .
Menurut (Lillesan and Kiefer) Pengolahan citra secara garis besar dibedakan menjadi 2 tahap, yaitu perbaikan citra dan penyadapan informasi. Kedua tahap ini dalam sistem analisa citra diuraikan menjadi 4 kategori kegiatan yakni :
1. Preprocessing (Pemprosesan Awal)
2. Image Enhancement (Penajaman Citra)
3. Transformasi
4. Klasifikasi dan Analisis
E. Citra Satelit SPOT 4
Spot 4 (systeme Pour l’Observation de la Terre) adalah seri dari satelit pengamatan bumi yang didesain dan diluncurkan oleh CNES (Centre National d’Etudes Spatiales) dari Perancis. Sensor satelit ini terletak pada ketinggian 830 km diatas bumi, dengan waktu kunjung 26 hari. Satelit Spot 4 memiliki sistem pencitraan ganda high resolution visible (HRV), masing-masing HRV dapat mengindera saluran tunggal resolusi spasial tinggi panchromatic (PLA) maupun resolusi spasial yang lebih rendah pada tiga saluran yang disebut model multipectral (MILA). PLA memiliki resolusi 10 m, sedangkan MILA 30 m. Spot 4 dengan resolusi pixel 10 x 10 meter dengan 3 band (model multi spektral). Spot 4 dengan tiga band yang mencakup liputan spektral :
Band 1: 0.50 ~ 0.59 (Mm)
Band 2: 0.61 ~ 0.68 (Mm)
Band 3: 0.79 ~ 0.89 (Mm)
Kegiatan melakukan kajian tingkat akurasi dari sensor Spot 4 untuk proses ekstraksi secara digital garis batas wilayah air dan darat (garis sungai atau garis pantai), dimana pada kegiatan ini dilakukan pembuatan data fusi (citra MS dan Pan) dan pengkajian tingkat akurasi dan error dari hasil yang diperoleh dengan menggunakan citra IKONOS. Citra Satelit Spot 4 meliputi sebagian Delta Warna merah mengindikasikan tutupan vegetasi (Sabins, 1978).
a. Resolusi Spektral
Resolusi spektral merupakan interval panjang gelombang khusus pada spektrum elektromagnetik yang direkam oleh sensor. Semakin sempit lebar interval spektrum elektromagnetik, resolusi spectral akan menjadi semakin tinggi. Contoh Spot 4 pankromatik band 3 mempunyai lebar interval 0.51-073 m. sedangkan TM3 mempunyai lebar interval 0.63 – 0.69 m, sehingga resolusi spektral Spot 4 lebih tinggi dari TM3.
b. Resolusi Spasial
Resolusi spasial adalah ukuran terkecil dari objek yang dapat dibedakan oleh sensor atau ukuran daerah yang dapat disajikan oleh setiap piksel. Objek yang mempunyai ukuran lebih kecil dari ukuran piksel dapat dideteksi apabila mempunyai nilai kontras dengan sekitarnya, seperti jalan.
c. Resolusi Radiometrik
Resolusi Radiometrik ditunjukkan oleh jumlah nilai data yang dimungkinkan pada setiap band. Hal ini ditunjukkan dengan jumlah bit perekam.
d. Resolusi Temporal
Resolusi temporal ditunjukkan dengan seringnya citra merekam suatu daerah yang sama dan sensor satelit Spot 4 ini terletak pada ketinggian 830 km diatas bumi, dengan waktu kunjung 26 hari.
F. Pengembangan Algoritma Pemetaan Perairan Dangkal
Pendekatan yang dilakukan untuk mendapatkan algoritma yang sesuai diilhami dari algoritma yang berkembang oleh Lyzenga, (1981) yaitu “Exponential Attenuation Model” dengan asumsi bahwa proses dibuat pada satu kedalaman yang sama dengan tiap pasang band (Xi dan Xj). Ada dua anggapan untuk mendukung algoritma ini yaitu anggapan pertama bahwa hubungan antara pantulan dan exponential attenuation dengan kedalaman adalah linear (Xi = Ln (Ri) dan anggapan kedua bahwa rasio koefisien attenuation (ki/kj) adalah determinasi dari transformasi bi plot pantulan dari dua saluran (Xi dan Xj).
Kerangka Pikir
Kawasan terumbu karang merupakan rumah bagi organisme dan tumbuhan yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi, berbagai jenis hewan laut mencari makan dan berlindung di ekosistem tersebut. Degradasi atau kerusakan terumbu karang terjadi karena beberapa faktor yang diantaranya aktivitas masyarakat seperti pelayaran dan penangkapan yang tidak ramah lingkungan. Identifikasi Perairan dangkal dengan menggunakan data penginderaan jauh khususnya pemanfaatan citra satelit telah banyak digunakan dan diteliti sebagai suatu alat pengumpulan informasi sumber daya alam khusunya identifikasi kondisi terumbu karang. Peta citra merupakan citra yang telah bereferensi geografis sehingga dapat dianggap sebagai peta. Informasi spasial yang disajikan dalam peta citra merupakan data raster yang bersumber dari hasil perekaman citra satelit sumber alam khusunya ekosistem terumbu karang secara kontinu. Peta citra memberikan semua informasi yang terekam pada bumi tanpa adanya generalisasi. Peranan peta citra (space map) dimasa mendatang akan menjadi penting sebagai upaya untuk mempercepat ketersediaan dan penentuan kebutuhan peta dasar yang memang belum dapat meliput seluruh wilayah nasional pada skala global dengan informasi terbaru (up to date). Peta citra mempunyai keunggulan informasi terhadap peta biasa. Hal ini disebabkan karena citra merupakan gambaran nyata di permukaan bumi, sedangkan peta biasa dibuat berdasarkan generalisasi dan seleksi bentang alam ataupun buatan manusia.
Mengingat luasnya terumbu karang maka perlu suatu teknik yang efisien dan ekonomis untuk mendapatkan informasi tersebut. Berdasarkan identifikasi komunitas terumbu karang di Indonesia tercatat seluas lebih dari 20.000 km2, yang meliputi karang hidup, karang mati, lamun, dan pasir (COREMAP, 2001). Mengetahui kekayaan sumber daya ini, maka perlu suatu bentuk pelestarian yang benar-benar cocok melalui pemahaman karakteristik dan kondisi lingkungannya. Untuk itu perlu diciptakan data base informasi spasial karakteristik terumbu karang dan kondisi lingkungannya.

METODOLOGI PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Pebruari sampai bulan April Tahun 2010 yang meliputi studi literatur, pengolahan data, pengamatan lapangan, serta penyusunan laporan hasil akhir. Dan lokasi penelitian dilakukan di perairan laut dangkal Pulau Pannikiang Desa Madello Kecamatan Takalassi Kabupaten Barru.
B. Alat dan Bahan
b.a. Alat
Alat pendukung survei lapangan yaitu GPS untuk menetukan posisi titik pengamatan. Alat selam dasar untuk pengamatan objek dasar perairan. Kamera underwater untuk merekam dan memotret objek dalam air. Perahu motor untuk menjangkau posisi titik pengamatan.
Alat pengolahan secara digital yaitu laptop/komputer sebagai perangkat keras untuk mengolah data, printer untuk mencetak hasil pengolahan data, software arcview 3.3, software ERMapper 7.0, MS Word, MS Excel, untuk perangkat lunak pengolahan data.
b.b. Bahan
Data yang digunakan berupa data primer dan data sekunder. Data satelit yang digunakan berasal dari hasil perekaman satelit Spot 4 Akuisisi pada bulan 08 Agustus 2006 di Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. Data yang diperoleh dari instansi Pemerintah Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL) bidang survei sumberdaya alam laut.
C. Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan analisis penginderaan jauh dengan metode Formulasi Lyzenga yaitu untuk dapat mengatahui dan menghitung sebaran dari terumbu karang hidup dan mati yang dibagi dalam tiga tahap yaitu Pengolahan citra awal, survey lapangan dan pengadaan data sekunder serta pengolahan lanjutan.
Citra Spot 4 multitemporal untuk analisis sebaran dan kondisi di pulau Pannikiang. Pengolahan dimulai dengan koreksi geometrik dan pemotongan citra. Klasifikasi dilakukan setelah transformasi citra dengan algorithma Lyzenga. Citra hasil klasifikasi diuji dengan menggunakan data hasil pengamatan lapangan dan diklasifikasi kembali dengan acuan citra komposit band 123.
Tahap-tahap kegiatan penelitian ini dilakukan secara keseluruhan yang meliputi sebagai berikut :
c.a. Persiapan
Tahap ini meliputi studi literatur, penyiapan data digital citra Spot 4, penyiapan peta rupa bumi yang meliputi daerah penelitian, penyiapan peta digital, penyiapan alat-alat yang akan digunakan selama kegiatan penelitian, observasi lapangan, dan pengumpulan data sekunder lainnya.
c.b. Pengolahan dan analisis citra/data
Tahap ini merupakan bagian yang penting dalam penelitian. Kegiatan ini mencakup kerja dengan uraian tahapan sebagai berikut:
c.b.a. Impor Data Citra.
Data citra Spot 4 yang masih dalam format file GeoTIF, di konversi ke format file raster (ers) dan format file vektor erv untuk software Er-Mapper (ers).
c.b.b. Penajaman Citra (Enhancement)
Penajaman citra merupakan langkah yang dilakukan sebelum interpretasi data secara aktual. Hal ini bertujuan untuk menguatkan penampakan kontras yang terjadi pada citra, sehingga dapat meningkatkan jumlah informasi yang dapat di interprestasikan secara manual pada citra. Metode penajaman yang digunakan adalah perentangan kontras, metode ini akan memperbaiki nilai kecerahan hingga didapatkan citra dengan range 0 – 255 secara liner.
c.b.c. Pemotongan Citra (cropping)
Pemotongan citra dilakukan untuk memfokuskan penelitian pada daerah kajian dan obyek pada masing-masing citra komposit warna semu dan masing-masing saluran spektral.
c.b.d. Pemisahan Obyek Daratan dan Perairan
Pemisahan obyek daratan dan perairan dimaksudkan agar nilai spektral yang digunakan dalam proses klasifikasi tidak dipengaruhi oleh nilai spektral dari daratan. Untuk memisahkan daratan dan perairan maka akan ditentukan batas nilai pixel daratan dan perairan (nilai landmarks). Nilai diatas ambang batas (nilai landmarks) tersebut akan dianggap nol atau tidak ada hingga yang akan muncul adalah nilai dibawah ambang batas. Nilai ambang batas tersebut akan digunakan dalam proses pengolahan citra pada tahap analisis formula Lyzenga.
c.b.e. Analisis Citra dengan Tranformasi Lyzenga
Transformasi citra menggunakan koefisien attenuasi data Spot 4 pada band 4 yang mampu menembus kolom air hingga kedalam tertentu dan dikombinasikan secara logaritma natural dan menghasilkan kanal baru, metode ini dikembangkan berdasarkan persamaan Lyzenga (1981), yaitu Model Pengurangan Eksponensial (Eksponential Attenuation Model).
Adapun persamaan Lyzenga adalah sebagai berikut:
Riz = Ri ~ +(0,54 Rio – Ri ) exp -2kiz
Dimana:
Ri = Pantulan gelombang dari laut dangkal kanal 1
Ri~ = Pantulan gelombang dari laut dalam pada kanal 2
Rio = Pantulan dasar perairan (0 meter)
z = Kedalaman perairan (m)
Ki/Kj = Koefisien atenuasi air pada λi
Persamaan tersebut kemudian diturunkan dengan menggunakan dua kanal sinar tampak pada panjang gelombang yang ada pada Spot 4 sehingga diperoleh persamaan (Lyzenga,1981), sebagai berikut:
Y = Ln(TM1) + ki/kj.Ln(TM2)
Dimana:
Y = Ekstraksi informasi dasar
TM1 = Kanal 1
TM2 = Kanal 2
Ln = Linear
Ki/kj = Koefisien attenuasi
Perhitungan Nilai ki/kj adalah :
ki/kj = a + (a2 + 1)1/2
Dimana :
a = (Var1-Var2)/(2(Covar1,2)
c.b.f. Klasifikasi Multi Spektral
Klasifikasi multi spektral dilakukan untuk mendapatkan gambar atau peta tematik, yakni suatu gambar yang terdiri dari bagian-bagian yang telah dikelompokkan kedalam kelas-kelas region tertentu yang merepresentasikan suatu kelompok obyek yang sama. Metode klasifikasi yang dilakukan adalah klasifikasi unsupervised (tidak terawasi). Klasifikasi ini akan mengklarifikasi areal yang spesifik dan bisa diamati secara visual pada citra yang akan bekerja sendiri dan membuat cluster sendiri yang dikelaskan berdasarkan homogenitas pantulan spektral.



c.c. Survei Lapangan
Survei lapangan dilakukan untuk membandingkan hasil analisa citra dengan kondisi sebenarnya dilapangan. Lokasi pengambilan data lapangan dilakukan di Perairan dangkal Pulau Pannikiang Desa Madello Kecamatan Takkalasi Kabupaten Barru. Penentuan stasiun pengamatan berdasarkan jenis objek penutup dasar perairan laut dangkal yang berbeda dan berdasarkan hasil klasifikasi (Unsupervised Clasification) dari citra Spot 4. Dari hasil analisis citra maka akan mendapatkan titik pengambilan sampel yang berdasarkan tingkat kehomogenan warna yang dianggap paling mewakili.
Penentuan jumlah titik pengamatan mempertimbangkan variabilitas tutupan karang dan lamun jenis obyek penutup dasar perairan dangkal dan hasil klasifikasi tidak terawasi (Unsupervised Clasification). Jumlah titik sampel ditentukan secara representatif berdasarkan objek penutup dasar perairan. Penentuan titik sampel juga mempertimbangkan aspek kondisi alamiah seperti kedalaman perairan dan rataan terumbu. Penentuan titik pengamatan berdasarkan tampilan warna citra yang telah diolah dengan Algorithma Lyzenga lalu mengamati dan mencatat serta merekam jenis obyek penutup dasar perairan. Penyelaman dilakukan untuk titik pengamatan pada ekosistem terumbu karang dan pengambilan titik koordinat pada satiap objek penutup dasar perairan yang berbeda. Hal ini dilakukan secara berulang pada lokasi lain yang menunjukan visualisasi warna yang berbeda pada citra.
Memasukkan titik-titik pada citra Spot 4 ke GPS yang dijadikan sebagai penuntun utama dilapangan untuk menemukan lokasi titik pengamatan. Kegiatan selanjutnya melakukan pendataan karang, lamun, makro alga dan pasir pada stasiun yang telah ditentukan sebelumnya. Pengamatan objek penutup dasar perairan (karang, lamun, makro alga dan pasir) secara kuantitatif dilakukan dengan metode sampling cepat. (quick sampling) dengan mengikuti standar estimasi penutupan karang dan lamun. Penelitian dilakukan dengan menjelajahi daerah sekitar stasiun pengamatan dengan snorkling dan penyelaman serta jenis objek yang ditemukan kemudian dicatat pada papan sabak.
c.d. Uji Ketelitian
Uji ketelitian dengan meginterpretasi visual dari citra warna komposit yang digunakan untuk menghasilkan data informasi klasifikasi tentang masing-masing titik sampel. Penggunaan lahan kategori titik-titik ini juga dapat ditentukan oleh interpretasi dari hasil klasifikasi citra. Matriks yang mengandung kesalahan merujuk pada kasus-kasus di mana definisi diterapkan dalam algorithim pada kategori yang tidak ada dalam hasil klasifikasi di lapangan. Yang disebut dengan uji ketelitian menunjukkan bahwa kemungkinan gambar citra pada warna pixel klasifikasi pemetaan benar-benar mewakili kategori kenampakan objek di lapangan pada hasil pengolahan Lyzenga. Istilah tersebut dapat dinyatakan sebagai berikut :
Ketelitian Pengguna (%) = 100% - error of commission (%).
Hasil Ketelitian Produser (%) = 100 - error of ommission (%).
Akurasi peta keseluruhan dihitung dengan membagi jumlah entri yang membentuk diagonal utama dengan total jumlah sampel yang diambil. (Baja 2002).
c.e. Pengolahan Akhir
Pengolahan ini meliputi pengecekan hasil klasifikasi Unsupervised dengan data lapangan yang diperoleh. Pada tahap ini dilakukan observasi di lapangan dengan membandingkan hasil dari klasifikasi citra dan kondisi susungguhnya di lapangan. Pengolahan akhir dilakukan penentuan hasil analisis sebaran dan kondisi terumbu karang berdasarkan arah mata angin di perairan dangkal Pulau Pannikiang Desa Madello Kecamatan Takkalasi Kabupaten Barru.
c.f. Analisis Data
a. Menghitung Penutupan setiap Kategori Tutupan Dasar Perairan Dangkal.
Analisis penutupan dasar perairan dangkal dilakukan berdasarkan analisis citra yang sesuai dengan hasil pengecekan lapangan. Data tersebut disajikan dalam satuan luasan (Ha) dan dihitung persentase tutupan untuk masing-masing kategori yang disajikan dalam bentuk table dan dianalisis secara deskriptif.
b. Estimasi Kondisi Terumbu Karang.
Estimasi kondisi terumbu karang dilakukan dengan cara menghitung luasan area yang ditutupi oleh karang hidup di perairan dangkal berdasarkan hasil analisis citra dan pengecekan lapangan. Untuk lebih detailnya maka pemisaan pulau akan dibagi menjadi 6 lokasi berdasarkan arah mata angin yang di antaranya Utara, Barat Laut, Barat Daya, Selatan, Tenggara dan Timur Laut (Gambar 7). Disetiap sisi Pulau akan diestimasi luasan terumbu karang, luasan penutupan karang hidup dan karang mati. Berdasarkan luasan total terumbu karang dan luasan penutupan karang hidup maka dapat dihitung persentase penutupan karang hidup untuk area yang diestimasi. Data-data tersebut disajikan dalam bentuk table dan dianalisis secara deskriptif


Tabel 2. Standar Penilaian Kualitas kondisi Terumbu karang berdasarkan persentase kriteria baku kerusakan terumbu karang. Sumber (KEPMEN Lingkungan Hidup, 2001).
Parameter Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang (dalam %)
Prosentase Luas Tutupan
Terumbu Karang yang Hidup
Rusak Buruk 0 - 24,9
Sedang 25 - 49,9

Baik Baik 50 - 74,9
Baik sekali 75 - 100


c.g. Penyusunan Laporan Akhir
Tahap akhir dari seluruh rangkaian penelitian ini adalah penyusunan Tesis sebagai laporan akhir berdasarkan hasil pengumpulan data-data sekunder dan pengumpulan data-data primer di lapangan, hasil analisis sampel serta hasil/pengolahan data yang dijelaskan dan dibahas serta dijabarkan secara deskriptif dalam bentuk tabel, grafik dan peta hasil pengolahan citra dari awal sampai akhir (Peta sebaran dan Kondisi ekosistem terumbu karang).